ZIARAH CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, seorang guru selalu mengajarkan cara pandang dengan dua mata, pertama mata kepala yang kedua mata hati. Pertama pandangan kongkrit, yang kedua pandangan abstrak. Untuk mengajarkan pandangan kedua, yakni melihat Tuhan bermahkota di hati, baitullah abstrak, maka beliau mengajak perjalanan fisikli menuju Mekkah, dimusim haji, pandangan kongkrit.
Bekal sudah dipersiapkan dalam menempuh perjalanan yang panjang, kendaraannya seekor khimar, seorang santri bertugas menuntunnya selama perjalanan. Siang malam berlalu, murid yang menuntun itu sakit agak serius, maka berkatalah guru kepada anak itu bahwa dia disuruh naik khimar, sementara gurunya yang menuntunnya.
Dengan berat hati anak itu naik khimar sambil selalu memandang keikhlasan gurunya bukan ranah kata tetapi adabnya. Penyakit tak sembuh2, maka guru itu menjual perbekalannya sampai habis untuk berobat muridnya, sayang penyakit tak kunjung mereda.
Dalam istirahat perjalanan, murid bertanya kepada gurunya, guruku, bekal sudah habis untuk kesembuhanku, khimar juga sudah engkau jual untuk pengobatanku, sementara perjalanan ke baitullah masih amat panjang, sekitar puluhan kilo meter lagi, sementara penyakitku ini tak kunjung mereda, lalu bagaimana kita nanti akan sampai ke baitullah itu.
Guru dengan senyumnya bening, sebening embun, sebening kaca menjawab kepada santrinya itu, oh gampang nak, nanti engkau aku gendong sampai kesana. Sambil menerangkan kepada murid, sambil guru itu banyak berpetuah yang intinya bahwa terhadap segala kejadian hidup ini pecinta tak boleh mengeluh, dan gampang merasa sampai atas perjalanan yang tak bertepi ini, kalau pecinta sampai ke baitullah secara kongkrit sangat mudah, sebentar lagi dalam hitungan hari cepat sampai, namun baitullah yang abstrak yang ada dalam dada setiap manusia lebih amat sulit, kalau rintangan kongkrit saja sedemikian beratnya maka lebih berat lagi rintangan abstrak, yang juga butuh pandangan abstrak.
Anakku, kata guru lebih lanjut, setiap simbul semesta, ketahuilah, itu miniatur untuk menerangkan hal-hal yang batiniyah, sebagaimana perjalanan ini, kalau ke baitullah bisa berulangkali, namun untuk ke baitullah yang abstrak, wujudnya adalah pelayanan kepada manusia tanpa sekat, agama tidak hanya nampak dalam pernik-pernik tasbih, lembaran sajadah dan kemegahan jubah, kenapa kepada pelayanan manusia, karena penggapaian Tuhan yang tak bertepi bisa ditempuh tangganya melalui membahagiakan makhlukNya, kalau ini dilakukan justru segala yang di langit turun menyayangi pecinta itu.
Murid sakitnya tak terasa sebab terpesona segala kisah petuah gurunya, sang guru walau menggendong melulu sepanjang perjalanan juga tidak merasa penat, duhai, karena memandang muridnya tersenyum, yang beliau rasakan tentu senyum Tuhan, Allah yang punya nama2 indah itu. Kawan, ujung kisah aku mendoakanmu semua, kapan2 Allah mengizinkanmu bisa ziarah ke baitullah itu...
Amin2 ya Allah...

catatan :  

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2

  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.

Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan.


Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel