TITIPAN CINTA - Sedulurku tercinta, tempo hari setelah sebuah kapal di pantai utara Jawa--Senopati Nusantara--tenggelam, seluruh penumpang yang jumlahnya ribuan, kocar-kacir di lautan lepas berombak, disamping banyak yang tenggelam berbarengan dengan kapal itu, mati. Seluruh jamaah pengajian pesantren aku ajak bersama nyambangi di Pelabuhan Tajung Mas menyapa mereka dan keluarganya yang meninggal--tahlilan--dan tabur bunga di lepas pantai. Ada seorang Ibu muda, sudah sebulan makan minum tidur di situ. Aku lihat auranya, aku membayangkan Nabi Yakqub kehilangan Yusuf, karena Ibu itu kehilangan anak satu-satunya yang berumur 7 tahun. Semula ia berdua naik perahu karet bersama 20 orang, karena terombang ambing di samodra, pertolongan tidak datang-datang. Dia merekam kejadian di perahu karet itu, banyak yang tidak kuat, mereka satu demi satu meninggal, ada ciri-cirinya sebelum meninggal, mereka mengigau (dleming), lalu nafasnya hilang, langsung diturunkan ke laut. Minum air laut, perut akan hancur, banyak yang menyumpal perutnya dengan makan pakaiannya sendiri, bahkan makan celana dalamnya sendiri, sampai kotorannya sendiri, minum air kencingnya sendiri, tetap menjemput ajal. Baginya makanan fisik ternyata tidak menjamin kehidupan. Saat itu ia dan anaknya merangsum diri dengan mengingatNya, dzikir Allah. Dia dan anaknya pun merangsum diri dengan shalawat Nabi. Dapet dari mana dia mengatakan bahwa Nabi dawuh, Aku adalah kapal ditengah lautan semesta raya. Bukan perahu karet ini yang menyelamatkan. Penumpang tinggal 10 orang, sudah 5 hari terapung-apung, hari ke 6 perahu karet itu kempes, mereka semua saling mengucapkan selamat tinggal, perpisahan yang sangat-sangat miris dan mengharukan. Dalam dekapan terkhir dengan anaknya semata wayang itu, di tengah gebalau ombak, desir angin dan jeritan pilu, takbir menggema--Nak, kita harus berpisah, jangan takut nak, bukan perahu ini yang menyelamatkan nak, tetapi Allah, bukan kita nak, kita berharap Kanjeng Nabi mengambil tangan kita, panggillah beliau dengan selawat yang telah aku ajarkan itu, aku pasrahkan kepada Allah, sandaran kita setelah Allah nak, ya Kanjeng Nabi itu, aku titipkan engkau kepadaNya dan kekasihNya, sabarlah nak. Di puncak prahara kayak gitu, dalam kesucian hati anaknya masih mengelebatkan senyum,senyum yang sangat indah, yang memberikan energi tak terhingga kepadanya. Anak itu bagai Nabi Ismail mau disembelih bapaknya, Ibrahim--kepasrahannya. Ibu itu mengecup seluruh tubuh anaknya, dengan cepat, karena berpacu dengan waktu, takbir ia jeritkan menembus debur ombak. Dalam hitungan berjam-jam ia berenang, hanya untuk mengapung, ia akhirnya tertolong oleh nelayan dengan perahu kecil, sampai ke Tanjung Mas itu. Kini ia menunggu anaknya, menunggu, menunggu, menunggu sebulan, Menunggu dengan keyakinan, bahwa ia sudah titipkan ke Allah, dan minta tangannya diambil Kanjeng Nabi. Keyakinan yang penuh, genggaman hati yang kuat, ia di panggil petugas Pelabuhan bahwa ada anak yang mencari ibunya, umur 7 tahun. Seketika ia menjerit takbir dengan tingkat kegilaan, lari mendekati televisi, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allahu Akbar.... Kawan-kawan, sungguh benar anaknya di Pelabuhan Surabaya, seketika dia berangkat ke Terminal Terboyo berangkat menuju Surabaya menjemput titipan cinta. Aku pegang tanganya sebelum berangat, aku lepas kerudung istriku, aku kenakan dengan tanganku sendiri, bagai memahkotainya, itu Ibu....


Sedulurku tercinta, tempo hari setelah sebuah kapal di pantai utara Jawa--Senopati Nusantara--tenggelam, seluruh penumpang yang jumlahnya ribuan, kocar-kacir di lautan lepas berombak, disamping banyak yang tenggelam berbarengan dengan kapal itu, mati. Seluruh jamaah pengajian pesantren aku ajak bersama nyambangi di Pelabuhan Tajung Mas menyapa mereka dan keluarganya yang meninggal--tahlilan--dan tabur bunga di lepas pantai.

Ada seorang Ibu muda, sudah sebulan makan minum tidur di situ. Aku lihat auranya, aku membayangkan Nabi Yakqub kehilangan Yusuf, karena Ibu itu kehilangan anak satu-satunya yang berumur 7 tahun. Semula ia berdua naik perahu karet bersama 20 orang, karena terombang ambing di samodra, pertolongan tidak datang-datang. Dia merekam kejadian di perahu karet itu, banyak yang tidak kuat, mereka satu demi satu meninggal, ada ciri-cirinya sebelum meninggal, mereka mengigau (dleming), lalu nafasnya hilang, langsung diturunkan ke laut. Minum air laut, perut akan hancur, banyak yang menyumpal perutnya dengan makan pakaiannya sendiri, bahkan makan celana dalamnya sendiri, sampai kotorannya sendiri, minum air kencingnya sendiri, tetap menjemput ajal. Baginya makanan fisik ternyata tidak menjamin kehidupan.

Saat itu ia dan anaknya merangsum diri dengan mengingatNya, dzikir Allah. Dia dan anaknya pun merangsum diri dengan shalawat Nabi. Dapet dari mana dia mengatakan bahwa Nabi dawuh, Aku adalah kapal ditengah lautan semesta raya. Bukan perahu karet ini yang menyelamatkan. Penumpang tinggal 10 orang, sudah 5 hari terapung-apung, hari ke 6 perahu karet itu kempes, mereka semua saling mengucapkan selamat tinggal, perpisahan yang sangat-sangat miris dan mengharukan. Dalam dekapan terkhir dengan anaknya semata wayang itu, di tengah gebalau ombak, desir angin dan jeritan pilu, takbir menggema--Nak, kita harus berpisah, jangan takut nak, bukan perahu ini yang menyelamatkan nak, tetapi Allah, bukan kita nak, kita berharap Kanjeng Nabi mengambil tangan kita, panggillah beliau dengan selawat yang telah aku ajarkan itu, aku pasrahkan kepada Allah, sandaran kita setelah Allah nak, ya Kanjeng Nabi itu, aku titipkan engkau kepadaNya dan kekasihNya, sabarlah nak.

Di puncak prahara kayak gitu, dalam kesucian hati anaknya masih mengelebatkan senyum,senyum yang sangat indah, yang memberikan energi tak terhingga kepadanya. Anak itu bagai Nabi Ismail mau disembelih bapaknya, Ibrahim--kepasrahannya. Ibu itu mengecup seluruh tubuh anaknya, dengan cepat, karena berpacu dengan waktu, takbir ia jeritkan menembus debur ombak.

Dalam hitungan berjam-jam ia berenang, hanya untuk mengapung, ia akhirnya tertolong oleh nelayan dengan perahu kecil, sampai ke Tanjung Mas itu. Kini ia menunggu anaknya, menunggu, menunggu, menunggu sebulan, Menunggu dengan keyakinan, bahwa ia sudah titipkan ke Allah, dan minta tangannya diambil Kanjeng Nabi. Keyakinan yang penuh, genggaman hati yang kuat, ia di panggil petugas Pelabuhan bahwa ada anak yang mencari ibunya, umur 7 tahun. Seketika ia menjerit takbir dengan tingkat kegilaan, lari mendekati televisi, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allahu Akbar....

Kawan-kawan, sungguh benar anaknya di Pelabuhan Surabaya, seketika dia berangkat ke Terminal Terboyo berangkat menuju Surabaya menjemput titipan cinta. Aku pegang tanganya sebelum berangat, aku lepas kerudung istriku, aku kenakan dengan tanganku sendiri, bagai memahkotainya, itu Ibu....

catatan :  

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2

  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.

Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan.


Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel