TANGIS CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, maafkanlah aku bila sering mengisahkan sesuatu, sepertinya mengajakmu menangis, bagi orang yang sulit menangis aku pandang: alangkah kuat hatimu, dibalik itu aku selalu merasakan kelembutan hatimu. Kanjeng Nabi saw menyatakan bahwa siapa yang menangis tetapi tidak keluar air matanya, baginya surga. Aku belum pernah melihat Cak Nun menangis, tetapi dengarkanlah suaranya itu, tutur katanya itu, shalawatannya itu, bagiku beliau menangis dalam bentuk yang lain--tidak keluar air mata.

Aku ini orang yang sangat lemah, membaca tulisanmu di facebook, aku menangis karena di balik dunia maya, aku membayangkan sangat terang di cermin hatiku: dirimu sehat, keluargamu aman, senyummu mengembang. Aku sangat-sangat bahagia, lalu aku menjawabmu walau kau tidak melihatku, mengetik tulisan sambil meleleh air mataku. Aku bahagia, atas kesehatanmu kawan, ya aku bahagia, bahagia sekali.

Aku tidak tahu, kalau berusaha menangis itu dianjurkan Kanjeng Nabi saw bisa melembutkan hati, aku tidak tahu kalau Allah menyatakan bahwa orang-orang soleh itu bila dibacakan ayat-yatNya, mereka rebah bersujud dan menangis. Aku tidak tahu kalau Abu Dzarr dan para sahabatnya bilang bahwa jika orang mampu menangis, menangislah, jika tidak rasakanlah dalam hati akan kesedihan, berusahalah untuk menangis, karena hati yang keras jauh dari Allah.

Aku tidak tahu kalau orang-orang shaleh itu disebut Allah bahwa mereka melihat pesona tanda-tandaNya,mereka merebahkan diri atas muka mereka sambil menangis dan bertambahlah kekhusyuan mereka. Aku tidak peduli kalau orang bilang aku ini cengeng dan gampang tidak berdaya, lalu membid'ahkanku. Aku rela. Aku juga tidak peduli kalau ada orang yang memuji, bahwa aku menangis itu tanda dari kelembutan hati. Kalau aku dipandang riya', aku pun juga rela, karena aku secara jujur belum mencapai kekhusyuan itu, aku masih riya', ya aku masih riya', maafkanlah aku kawan.

Sekuat Kanjeng Nabi saw, ketika mendengar ayat-ayat dibacakan, beliau menangis sesengguan, apalagi selemah aku ini kawan, aku bisa berteriak, menjerit dan bergetar hatiku. Makanya ketika aku mendengar orang membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an, aku menangis: hatiku ada suara, bukankah ayat-ayat ini pernah diucapkan oleh kekasih Allah, kini terdengar di telingamu, lalu Kanjeng Nabi saw serasa ada depan mataku, aku menangis tetapi menangis bahagia.

Ketika aku menimang bayi anak-anakku ada suara di hatiku: semua bersumber dari cahaya Muhammad, bukankah Muhammad telah hadir di rumahmu, lalu aku seperti disuruh menyambutnya: ya Nabi salam 'alaika, ya rasul salam 'alaika, aku menangis, kata-kataku hilang, diganti air mata. Ketika aku berdampingan dengan istri saat temantenan, ada suara yang sama di hatiku: bukankah engkau sedang berdampingan dengan Nabi itu dalam wujud istri, yang bersumber dari cahaya Muhammad itu, aku menangis dengan tingkat kesyukuran tiada tara. Apalagi kalau aku melihat tragedi kemanusiaan, aku menangis.

Andai aku mendengar khabar dirimu sakit kawan, aku menangis dengan harapan penuh: Ya Allah sembuhkanlah kawanku itu, sembuhkanlah, sembuhkanlah, ya Robb. Aku menghindari gelak tawa di televisi, kita menyewa orang untuk bisa tertawa. Apakah kualitas ruhani kita muncul, harus dihadirkan tragedi-tragedi itu: jangan Ya Allah--bisik dalam hatiku, aku yakin mereka semua tidak kuat, tidak kuat. Maka Nabi saw menangis ketika melihat tangannya pemecah batu itu, melepuh demi mata pencahariannya, halal, lalu Kanjeng Nabi saw mencium tangan yang melepuh itu....

Kawan-kawan, anggaplah aku cengeng saja ya, aku menangis biar peka terhadap penderitaan orang-orang kecil, aku menangis dalam shalat-sholatku--bukan karena khusyuk--betapa kekhusyu'an ini sulit bagiku ya Allah, malah dalam pengajian maiyahan pagi di rumah, aku tidak pidato apa-apa, aku nasehati masyarakat sekitarku dengan air mataku. Jangankan sejauh itu kawan, engkau menyapaku saja walau lewat dunia maya ini, aku menangis, hatiku menjerit menyongsongmu: aku punya saudara kamu, aku punya saudara kamu, aku punya saudara kamu, aku punya saudara kamu, aku punya saudara kamu....

Aku bahagia!!!!


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel