TAHAPAN CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, ketika dalam suatu pengajian di sebuah Pesantren, aku bertanya kepada para mustami' (pengunjung): bisakah dirimu mencontoh Kanjeng Nabi saw, secara menyeluruh? Lalu aku rinci, tentang Cinta Tuhannya, Ibadahnya, Mu'amalahnya, akhlaknya, tutur katanya, dan lain sebagainya. Serempak mereka menjawab: tidak bisa. Bisakah dirimu setara dengan keluarga Kanjeng Nabi saw? Kompak mereka menjawab: tidak bisa. Bisakah dirimu seperti imanya para sahabat Kanjeng Nabi saw? Mereka serempak menjawab: tidak bisa. Bisakah dirimu memiliki perjuangan seperti tabi'ittabi'in? Mereka menjawab: tidak bisa. Mampukah dirimu mengimbangi ilmunya para Imam-Imam itu? Mereka menjawab: tidak mampu. Bisakah dirimu mengimbangi atau menyamai para wali-wali (kekasih) Allah itu? Mereka menjawab: tidak bisa. Bisakah dirimu mengimbangi perjuangannya ulama' yang amilin itu? Mereka menjawab: tidak bisa. Bisakah dirimu mengenal Tuhan yang cahayanya berbagi di hatimu? Mereka menjawab: tidak bisa.

Lalu aku bacakan senandung syair, yang artinya: Ceritakan atau kisahkanlah sejarah orang-orang shaleh dan sifat-sifat baiknya, dengan menutur sejarah dan kisah itu, engkau akan terpercik wewangian mereka, ceritakanlah fadhilah-fadhilah mereka, engkau akan memperoleh keberkahannya, dan terhadap kubur mereka--ziarahlah--engkau akan mendapat keberuntungan dunia akhiratmu.
Baru setelah ini aku uraikan tentang metodologi cinta kepada Tuhan, sebagaimana yang ditempuh oleh salafushshalihin itu. Beliau-beliau itu memiliki cinta ilahi melalui dua cara pada umumnya : 1) melalui daya tarik Ilahi (jazbah) dan 2) melalui pengembaraan dan kemajuan metodia di atas Jalan Suluk.

Dengan daya trik, cinta Tuhan akan muncul secara langsung, tanpa perantara, sehingga orangnya akan melupakan segalanya kecuali Allah. Realitas ini tidak dapat diketahu oleh metode-metode logis atau rasional. Tuhan harus didekati melalui cinta, dan hanya melaui keagungan dan rahmat Ilahi intimasi bersamaNYa bisa dicapai. Sepanjang dirimu, masih dirimu sendiri, maka siapapun tidak bisa mengenal Tuhan.

Selubung terbesar antara diri kita dan Tuhan adalah: dirimu itu. Hanya api cinta Ilahi yang dapat membakar egosentrisitas. Lebih-lebih, cinta Ilahi bisa muncul secara spontan, ia tidak dapat dipelajari melalui kajian. Sedangkan jalan kedua, yakni pengembaraan dan kemajuan metodis, dimana seseorang harus jatuh cinta pada guru spiritual, yang kemudian mengubah cinta ini menjadi cinta ilahi. Dari genggaman guru ini, di tangannya ada lentera, kemudian sang guru menghidupkan nyala lentera dengan nafas ruh sucinya, yang menyebabkan murid terbakar oleh cinta Ilahi.

Dalam syair tadi disebutkan, akan terpercik wewangiannya, memperoleh keberkahannya. Pada ujungnya sama dengan metode yang pertama: murid akan menemukan sebuah harta karun di sebuah sudut hatinya, dan dalam harta itu telah tersingkap sebuah permata yang tak ternilai harganya, bernama Cinta. Setelah memperoleh magma Cinta ini, makanya yang namanya hati tidak hanya segumpal daging saja, cahaya cinta ini akan mewarnai segala sendi jasad dan hidupnya, sehingga seluruh tubuhnya menjadi hati, meluas seluruh semesta menjadi hati: apa saja mengantarkan pada wajah Tuhan....

Kawan-kawan, semesta selalu menanti orang-orang semacam itu, dan ia akan memperoleh belaian kasih sayangnya. Paling tidak diri kita memperoleh percikan dari tetesan samudra Cinta itu, atau percikan dari percikan tetesan samudra Cinta itu, atau percikan dari percikannya percikan tetesan samudra Cinta itu....



catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel