TABURAN CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, semalam aku melayani sedulur Naqsabandi ikut2 nyapu2 di Hotel Semesta, milik temanku yang menggratiskan kamar mewahku (jazakumullah), mengadakan acara silaturrahmi dengan umat, silaturrahmi cinta. Bagai Sunan Kalijaga diriku, ketika ingin menjumpai Raja, beliau nglamar menjadi tukang cari rumput untuk merawat kuda Raja, kendaraan saat itu.

Dengan melayani, aku menjadi hamba, tidak memandang apa2 kecuali membahagiakan semuanya. Bukan kali ini saja, itulah nafas hidupku membayar Cinta. Bagi Raja yang saat mau pergi melihat kuda sangat terawat, lalu menanyakan siapa yang memelihara. Raja mencari Sunan, bukan Sunan mencarinya. Kalau cara ini kita bawa dalam pelayanan makhlukNya, tentu Sang Maha Raja akan menemui kita, dengan cara menyelipkan hadiah di sudut hati kita yang tak ternilai harganya, tiada lain wujudnya adalah Cinta.

Bisa dibayangkan, hanya pelayanan yang tak seberapa itu, aku dipertemukan dengan saudara yang begitu banyak. Seperti mancing saja, hanya modal cacing, bisa memperoleh ikan yang begitu besar. Bukankah kekasih-kekasih Allah itu adalah ikan2 yang berenang-renang di samudra cintaNYa? Malam tadi aku bisa ketemu orang2 yang mencintaiNya, barang2 yang menggiring cinta kepadaNya, dan tentu aku harapkan adalah percikan cintaNya, walau percikan itu dari tetesan samudra Cinta itu.

Aku akhirnya menemukan, bukan sekedar Syeh Mustafa, bukan sekedar Syeh Hisyam Kabbani, tetapi menemukan kenikmatan atas kelelahan itu. Sementara dibalik kelelahan, aku didampingi orang-orang yang melayaniku juga, Gondrong dan teman-teman Gambang Syafaat. Saling melayani, alangkah indahnya. Bagai tarian Sufi yang semalam aku suguhkan kepada Syeh Hisyam dan keluarganya serta murid2 beliau itu. Indah itu bagai musik orkresta yang mengiringi tarian yang dikomandoi sahabatku, Kiai Najib Abdullah.

Keindahan hatiku mekar bagai mekarnya busana penari Darwis yang berputar bagai gasing itu, yang didalam hatinya hanya boleh ada Allah. Malam tadi begitu Indah. Keindahan yang digempitai rebana dari Kudus dan Pekalongan. Malah Syeh Hisyam larut dalam pandangan tarian dan orkresta itu, aku di sisi beliau, sampai usai.

Paginya aku masih di Hotel itu, datanglah Gus Mus, datanglah Kiai Said Agil Siraj, lalu datanglah Kiai Sahal Mahfud di ruang lobbi hotel, didampingi istri kami bercengkrama. Sore ini aku belanja sama istri, untuk ngliwet sebagai syukuran ultah ke 47 hari ini, di Jogja. Di jogja tentu merupakan kebahagiaan tersendiri, memasuki ruang rindu, aku bisa ketemu sedulur Maiyah begitu melimpah, ketemu dengan musik Kiai Kanjeng yang indah itu, ketemu dengan Noe Letto itu, ketemu Cak Nun, yang di mataku bagai Ibu kehidupan, semua di tampung, semua di sapa, semua diperhitungkan kematangannya, aku ketemu dengan keluarga Cak Nun, tentu termasuk mBak Via itu, lalu aku bisa mengecup tangan Ibunya Cak Nun Ibu kita semua. Walau beliau agak lemah fisiknya, tetapi di mataku, hatinya menyala, menari, selalu kalau aku sungkem beliau, ditunjukkan kitab asmaul khusna, nama-nama yang Indah itu.....

Kawan-kawan, kalau aku terima taburan cinta dari Cak Nun ini, aku telusuri arusnya, dan aku reguk air cinta dari sumbernya, aku tatap aura Ibunya Cak Nun itu, cukup bagiku sebagai sebagai sodoran, apakah aku masih pantas diakui anaknya yang ke 16 setelah anak yang pernah dilahirkan beliau itu sejumlah 15, termasuk salah satunya Cak Nun itu.....

Di Mocopat Syafaat inilah aku syukuri menatap diri, ultahku itu, terimakasih kawan-kawan, trimakasih....
catatan :    

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung 
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. 
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan 
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga 
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian 
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah 
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang 
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap 
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang 
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik 
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari 
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara 
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil 
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar 
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak 
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu 
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2
 
  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang 
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari 
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug 
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono 
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah 
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. 
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan 
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono 
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) 
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. 

Budi Harjono 
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya 
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa 
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya 
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam 
pelajaran sekolah. 
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar 
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam 
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga 
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam 
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat 
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga 
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi 
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan 
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; 
organisasi sosial-pendidikan. 


Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono 
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah 
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau 
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. 
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono 
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya 
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa 
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya 
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam 
pelajaran sekolah. 

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar 
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam 
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga 
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam 
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat 
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga 
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi 
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan 
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; 
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah 
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi 
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan 
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah 
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan 
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. 
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang 
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) 
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui 
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel