SUJUD CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, ketika sujud Kanjeng Nabi mengingatkan untuk nambahi do'a-do'a lain, karena sujud merupakan puncak kehambaan bagi manusia, dimana kepala diletakkan pada posisi dibawah tumit, ini menunjukkan kerendah hatian manusia sementara hatinya mendongak ke langit melintasi ketinggian derajat malaikat megetuk Arsy Tuhan.

Ketika aku mendengar kabar mBah Marijan meninggal dunia di dapur dalam posisi sujud ketika panggilan Cinta datang menjelang, siapapun jadi cemburu pada beliau untuk menginginkannya manakala panggilan Cinta tiba--termasuk aku. Bukan saja cemburu, tetapi malu karena banyak manusia sujud, bukan saja ribuan mungkin jutaan sampai "bathuknya" ada atsarissujud namun mereka tidak menemukan panggilan Cinta itu pada posisi sujud itu.

Walau beliau sujud tersungkur di dapur, bukankah bumi ini masjid sebagaimana sabda Kanjeng Nabi itu, maknanya bumi ini merupakan sajadah nan luas bagi manusia yang bersimpuh hatinya kepada Sang Khalik itu. Kalau sujud sebagai puncak dari kehambaan, maka hal yang musti disadari sebagai hamba adalah taat kepada Tuhan itu. Karena Tuhan itu memiliki sifat qiyamuhu binafsihi, dimana Dia berdiri sendiri--terangnya--tidak membutuhkan makhluk.

Cuma ada rumusan dimana manakala kehambaan itu diekspresikan dalam bentuk sujud itulah. Sujud secara bentuk bisa kita lihat sebagaimana dalam shalat, atau sujud-sujud yang lainnya semisal sujudnya mBah Marijan itu. Sementara sujud secara essensi terekspresi dalam pelayanan kepada milikNya ini semua--secara ikhlas. Dari sisi sujud kedua inilah aku melihat sujud Cinta ada dimana-mana, misalnya: petani yang setia menggarap sawah ladangnya, pelaut yang mengarungi samudra menjemput karunia atau petani tambak itu, tukang sol sepatu sandal yang mengais rejeki untuk keluarganya ala kadarnya, seorang guru yang telaten mncerdaskan anak-anak bangsa semisal Ibu Muslimah dalam kisah Laskar Pelangi itu, tukang becak yang selalu terjaga demi sesuap nasi keuarga sampai cilupba dengan satpol PP itu, bakul-bakul blanjan yang menelusuri gang-gang kampung dan lorong-lorong kota, penjual pecel atau sate yang membawa dagangannya dengan di"sunggi" di atas kepala sambil nenteng bawaan lainnya bagai akrobat itu, tukang pemungut sampah atau tukang sapu jalan kota yang bangun dini hari di tengah nyenyaknya orang-orang bermimpi, pengamen-pengamen yang bersahaja dalam asa dan cita asal dapur ngibul saja mereka sudah menemukan bahagia, kiai-kiai yang menghabiskan umurnya menemani umat dan masyarakat disamping momong anak-anak kampung itu dalam dekapan hangat akan cinta, dan lain sebagainya dengan ribuan bahkan jutaan gerak hidup, yang satu dengan yang lainnya saling bermatarantai dalam saling melayani secara setia dan ikhlas.

Andai mereka meninggal dalam perjalanan melayani itu, maka sama halnya dengan mBah Marijan dengan gagah berani menyongsong maut menjemput dengan bersujud itu, dan mati mereka adalah syahid ganjarannya--syahid Cinta....

Kawan-kawan, dalam menumbuhkan kehidupan selalu dibutuhkan bentuk dan essensi, dimana--kata Rumi--isi tanpa kulit tak akan bisa tumbuh, kulit tanpa isi tak akan bersemi. Dalam keberagamaan memiliki nuansa yang sama, bila beragama hanya kulitnya saja maka akan melahirkan kekosongan jiwanya, tetapi manakala beragama hanya isinya saja maka ia tidak akan melahirkan pesona hidup berbagi dan bertentangan dengan misi kekhalifahannya di bumi ini.

Bagi mBah Marijan jelas Cinta telah beliau tunaikan kedua-duanya: cinta kepada sesama makhluk beliau tuntaskan di lereng Merapi, cinta kepada Tuhannya ia puncaki kematiannya dalam posisi bersujud itu....

Selamat jalan mBah Marijan, seberkas cahaya Cinta telah kau tebarkan dan menjadi kesaksianmu itu....


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel