SRABI CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, aku harus menjawab bagaimana ketika ada banyak orang menanyakan soal pekerjaan, mereka nganggur di tengan wewangian keberadaan yang diperuntukkan bagi hamba-hamba--sebagai kekasihNya ini. Kita sudah di dunia (Jawa--donyo), ternyata masih menanyakan dunia, bagai sudah di WC kok tanya tinja--dawuh Kiaiku dulu.

Dari penggambaran guruku itu, aku ditunjukkan betapa kalau hanya soal rejeki itu melimpah melalui instrumen semesta, semua jadi uang--jadi duit. Aku saksikan sendiri dalam realitas kehidupan: ketika aku pulang pengajian dari Bojonegoro jam 4 pagi sampai Cepu, ada seorang perempuan menyeret barang-barang pakai gerobak sendirian, sementara jalan sepi dan orang-orang masih terlelap kecuali bakul-bakul pasar yang berangkat menyongsong pembeli dengan hasrat fajar jiwanya.

Begitu sampai di emperan toko perempuan tua itu sendirian membongkar barang berwujud meja kecil terbuat dari kayu-kayu sederhana, tiga tungku, tiga lepek, sebongkah arang dalam plastik, adonan santan dan tepung beras, sewakul ketan sudah matang, beberapa kupasan kelapa muda, lembaran dau-daun pisang untuk bungkus, plastik kresek hitam--semua dipersiapkan sedemikian rupa--kala menyongsong subuh itu, yang tentu dipersiapkan di rumahnya dini hari kala banyak manusia mengeja mimpi-mimpi.

Usai subuhan datanglah Ibu tua itu dengan seorang anaknya perempuan yang masih gadis--tentu tidak sama dengan gadis2 yang hanya berpangku tangan--mengelar dan memethik wewangian karunia Allah yang namanya uang atau duit itu. Anak gadis itu menyalakan arang dan mengipasinya, lalu menuangkan adonan santan dan tepung itu, dan jadilah serabi yang menyengat wangi gosongnya itu, sungguh amat wangi.

Sementara Ibunya menyongsong srabi di meja yang dilambari daun pisang itu dengan parutan kelapa muda. Aku mewancarainya sambil memesan sepuluh bungkus untuk anak-anakku yang aku ajak keliling, transit di tempat Kiai Lilik Cepu--seorang Abul yatama--sukanya merawat anak yatim. Ternyata hanya setia berjualan srabi selama 25 tahun ini bisa membesarkan anak tiga, termasuk yang gadis itu, Keuntungan bersih setiap pagi bisa lima puluh ribu rupiyah, dan itu disyukuri habis-habisan, Alhamdulillah--desisnya sambil tersenyum.

Sambil berjalan pagi aku tenteng sepuluh bungkus srabi, karena mobil aku suruh duluan sejak aku menyaksikan drama cinta ini, aku terseret oleh keluasan karunia, dan kerelaan atas kesahajaan kehidupan. Andai saja penduduk negri ini memiliki kemegahan hati kayak Ibu dan anaknya ini, tentu kehidupan akan sangat terasa indah adanya. Terbayang olehku akan penjual nasi kucing yang rata-rata masih muda, terbayang olehku akan penjual siomay yang anak-anak muda imut itu, terbayang olehku akan kemandirian-kemandirian menyongsong wanginya rejeki melewati pertarungan nan pasrah ini, terbayang olehklu akan keterjagaan bakul-bakul yang membayar dengan Cinta, sementara pembeli menghargainya dengan hanya duit, lembaran-lembaran kertas itu, terbayang olehku akan petani-petani yang bergelepotan lumpur di sawah dan malamnya masih menyediakan waktu untuk mengaji sampai larut malam....

Kawan-kawan, diam-diam mataku meleleh airnya, aku menangis bahagia pagi kemarin bukan oleh gema wirid dan shalawat, tetapi aku menangis bahagia oleh gema Cinta yang genderangnya dibayar dengan seluruh dirinya itu, dan ketika aku sampai di transit, srabi yang dimasak dengan Cinta itu disongsong anak-anakku dengan harapan yang penuh, begitu lahap makan mereka makannya seperti hasrat Ibu dan anak yang membikinnya itu, aku tersimpuh di depan anak-anakku, dan mereka ada yang menanyakan kenapa Abah menangis, aku tak bisa menjawab kecuali derasnya air mataku ini....

Allahumma bariklana fiima rozaktana waqinaa adzaabannar....


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel