SEPEDA CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono

Sedulurku tercinta, kalau ada apa saja dilaporkan ke Kiai yang satu ini, buruk atau baik, suka atau duka, selalu beliau berkata pelaan--sae-sae (bagus-bagus). Harap maklum, dalam pandangan batin beliau ini, mana afal Allah yang tidak baik. Beliau disamping begawan Qur an,menguasahi kitab kuning, dan wirai (orang yang menjaga adab).
Pesantrennya menelorkan jagoan hafidz yang menyebar di seluruh nusantara, bahkan sampai tetangga negara ini. Tutur katanya lembut, kalau pas ngendikan (berkata-kata) sambil merunduk. Pelayanan kepada masyarakat bagian dari nafas hidupnya, tidak bermobil, tidak sepeda motor--saat zaman itu, pakai sepeda onthel. Tirakat semacam ini amat mafhum, sebab menanggung derita dengan manis adalah adab yang harus dibayar dalam ranah cinta. Manakala mengabulkan permintaan masyarakat, beliau mengayuh sepeda, sementara santri yang diboncengkannya. Selalu begitu. Misalnya ada orang sowan (silaturrahmi), bilang kalau dirinya masih suka nonton bioskop, beliau lembut bilang--sae-sae.
Ternyata sampai dirumah menjadi bahan diskusi panjang, pada ujungnya temannya ada yang menjawab, sae menurut Yai itu, hanya bagus menurut hawa nafsumu bukan menurut yang sejati. Kalau ada yang mengadu tentang musibah, Yai juga bilang sae, ternyata sae disini pada ujung diskusi bahwa setiap apapun--termasuk tertusuk jarum--sebagai tebusan dosa dan kesalahan. Semua sae, namun sae itu bertingkat-tingkat.
Pada suatu saat, Yai mendatangi ke lokasi pengajian (semaan), yang tadinya cuaca terang, baru separo perjalanan mengasuh sepeda, hujan datang, berteduhlah disuatu gardu kampung. Begitu hujan reda, yang namanya jalan ndeso, tadinya mulus berbalik becek, perjalanan masih tiga kilometer. Nak,,--dawuh Yai, untuk bisa pulang kita nanti bermalam di sana, menanti jalan bagus, maka sekarang bawalah ini sandalku, aku yang memanggul sepedanya.
Yai,,--jerit santri, akulah yang memanggul, jangan Yai. Tidak Nak--lanjut Yai, saksikanlah Nak, aku memberi pelajaran kepadamu, semoga hidupmu berkah, aku tujukkan Nak kalau ingin tahu jalur tercepat rahmat Gusti Allah turun kepadamu, bayarlah ongkos pelayanan tanpa pamrih ini. Tidak Yai,,--pekik santri. Tidak Nak cah bagus--sambung Yai.
Santri menerima sandal dengan gemetaran seluruh sendi tubuhnya, air matanya mulai keluar. Langit bumi menjadi saksi. Seorang begawan Qur an nampak sedang memanggul sepeda sepanjang jalan tiga kilo meter, sambil menjawab sapaan setiap orang yang bertemu, sambil senyum. Santri dengan merunduk ketakdziman, dengan berurai air mata sepanjang jalan, sambil curi2 pandang--ternyata sambil memanggung sepeda onthel bibir Yai ndremimil tadarus Quran dengan bisik2, bagai bercumbu dengan Tuhan....
Kawan-kawan, inilah sepenggal kisah orang sholeh, Romo K.H. Arwani Kudus pengasuh Pesantren Huffadz Yambuul Quran, istriku salah satu dari alumni pesantren beliau (Allahu yarham). Kalau engkau pernah mendengarkan kefasihan dariku saat aku dendangkan Quran, itu karena keberkahan beliau, lewat aku mengecup bibir istriku itu kali....

catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel