SENYUM CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, sebenarnya aku ini amat sangat bodoh, cuma aku merasa punya dorongan dari dalam untuk menutupi kebodohan itu dengan cara membangun dan menyambung persaudaraan tanpa batas, maka aku tertuntun menuju agak tahu sedikit tentang sedikit hal, bukan tahu banyak tentang sedikit hal, apalagi tahu banyak tentang banyak hal—mukhal bagiku.

Demikian saja sudah aku syukuri habis-habisan, karena tahu sedikit tentang sedikit hal bagiku merupakan percikan cahaya—yang aku rangkul—lalu percikan cahaya itu menyeret diriku pada lapisan-lapisan cahaya yang tak bertepi ini, dari saudara-saudaraku itu—termasuk anda semua.

Misalnya, pada suatu senja—selepas Ashar—aku menyaksikan di antara anak-anak usia sekolah dasar dan sekolah menengah, yang sedang latihan menari. Ada di antara mereka, seorang anak yang benar atau salah dalam gerakan itu, selalu tersenyum—ya selalu tersenyum. Aku seketika terbayang kepada siapa saja yang pernah aku temui, memiliki senyum yang indah seperti itu, yang bersumber dari langit jiwa yang sama—senyum keikhlasan. Senyum kayak gitu yang Kanjeng Nabi saw menyatakan sebagai sedekah. Anak perempuan itu bernama Putti Kaya Hati Imanni, sebuah nama yang diijabahi oleh Allah yang sepadan dengan keindahan senyuman itu.

Selayang pandang aku membayangkan bahwa di dada anak perempuan itu ada matahari hati bersinar, hingga menumbuhkan taman dalam wujud keindahan senyum itu—itulah senyum cinta. Sepantasnya senyum itu dimiliki oleh seorang Ibu, yang dipercaya oleh Tuhan atas titipanNya dalam wujud setia penuh kasih sayang terhadap anak-anaknya, walau dalam keadaan suka maupun duka, menjadi sandaran kuat digelayuti jiwa-jiwa. Bukan saja anak-anak yang pernah dilahirkan melalui rahimnya, namun juga anak manusia yang menjadi suaminya itu.

Bukankah setua apapun lelaki itu hakekat jiwanya adalah anak-anak abadi? Tidak aneh manakala sembilan akal laki-laki, tidak mampu mengendalikan satu nafsu yang dimilikinya, sementara sembilan nafsu yang dimiliki oleh perempuan mampu dikendalikan dengan satu akal bagi perempuan, perempuan yang shalekhah tentu. Bagi perempuan yang tidak memiliki jiwa seperti Ibu, minimal rumah tangganya dihiasi bentrok ujungnya menunggu perceraian, hanya soal waktu saja.

Aku yakin—dengan do’a—anak dengan senyum indah itu kelak manakala punya suami, bila diajak bicara, suami itu pasti akan menggunakan dengan tutur kata yang indah, karena kata yang kotor dan jorok akan mencemari keindahan senyum itu. Manakala suaminya menyajak bergaul secara seksualitas, maka ia akan menggunakan akhlak sebaik-baiknya, karena sifat kebinatangan akan terbakar oleh senyum indah itu, dan senyum itu menyadarkan bahwa dirinya bukan seonggok daging saja, bukan. Kalau suaminya menyuruh-nyuruh—sebagai istri—pasti perintah itu akan disongsong sepenuh cinta dan hasrat yang menggelora—walau dibayar derita—asal suaminya itu tersenyum gembira. Kalau suaminya andai rewel dan nakal, maka akan ia pandang persis seperti memandang anak-anaknya, maka ia akan tegar dan megah, semua diterima sebagi kado dari Tuhan, yang pasti didalamnya berisi hadiah yang tak ternilai harganya, namanya Cinta itu, pasti. Pada ujungnya hanya kematian yang akan memisahkan, sebelumnya hanya akan dibayar dengan kesetiaan, ya kesetiaan.

Hari ini aku sekeluarga, setelah sejak dua hari yang lalu menjalankan Ziarah ke mBah Priuk lalu ke Habib Luar Batang kemudian subuhan di Masjid Kubah Emas beserta satu bus jama’ah Maiyah lingkungan pesantren—atau penghuni Rumah Cinta—terakhir silaturrahmi ke Kandang Jurang Doank. Rombongan ziarah sudah sampai rumah dengan selamat pagi ini, tinggal aku sekeluarga diizinkan oleh Allah untuk masih di KJD ini.

Kandang Jurang Doank adalah wahana kreatifitas yang disebut Cak Nun merupakan kelembagaan memuat empat departemen dalam ranah negara: departemen agama, departemen pendidikan dan kebudayaan, departemen pariwisata dan departemen sosial. Tempat ini merupakan Rumah Cintaku yang ada di Jakarta, selamat datang bagi siapa saja, ke Kandang Jurang Doank.

Ternyata anak perempuan yang aku amati dengan abstraksi seperti di atas adalah anak ketiga dari Raden Rizky Mulyawan Kertanegara Hayang Denda Kusuma, orang mengenal Dick Doank. Anak yang pertama, Ratta Billa Baggi, yang kedua Geddi Jaddi Membumi, yang ketiga tentu yang punya senyum yang indah itu, semua ini keluar dari rahim seorang Ibu bernama Myrna Yuanita, istrinya Dick Doank atau Om Gantheng itu.

Perempuan ini, saat Ibunya Om Dick meninggal selang tiga harinya aku mahkotai dengan kerudung sutra milik istriku—yang juga punya senyum yang sama—sebagai rasa syukur atas bayang-bayang Tuhan ini. Hari ini dia ulang tahun ke-42 dan aku hadiahi catatan di facebookku ini, sebagai larut hatiku sekeluarga atas syukur tiada tanya Om Dick punya istri bernama Myrna Yuanita ini, catatan Cinta....

Kawan-kawan, sapalah dia di facebook ini biar menjadi saudara, teriring do’aku kepadamu semua semoga Allah menganugerahimu anak-anak yang punya senyum indah itu yang dilahirkan dari Ibu yang punya senyum indah juga, hati orang tua bernyanyi pada anak-anaknya, salam buat istrimu semua, salam calon istrimu semua kawan-kawan....

Selamat Ultah mBak Ayu Myrna Yuanita....


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel