SEJOLI CINA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, sejoli itu pada galipnya dimaknai sepasang atau sejodoh antara laki-laki dan perempuan, tetapi sejoli ini lain karena ada cinta diantara mereka dengan amat kuatnya, sehingga mereka meninggal dalam sepuluh menit selisihnya.

Ada seorang perjaka sampai tua--sekitar 50 tahun--meninggal, sepuluh menit berikutnya Ibunya menyusul, sejoli cinta mati bersama. Perjaka sampai tua itu--dia sedulurku--disebabkan dia merawat Ibunya yang sakit sampai puluhan tahun, Ibu itu umurnya 80 tahun saat meninggal. Aku yakin sedulurku ini menuruti suara dhamirnya, dimana Ibu adalah sosok yang penuh cinta karena dia diwujudkan Tuhan sebagai manifestasi dari jamaliyahNya (keindahanNya), sehinga Kanjeng Nabi menyebut surga itu dibawah telapak kaki Ibunya. Pada sisi yang lain perempuan itu sebenarnya bayang-bayang Tuhan, karena lewat rahimnyalah kita semua ini dititipkan Gusti Allah.

Sedulurku ini orangnya kurus, tinggi badan, sorot mata yang tajam dan punya penyakit bawaan sejak kecil--jantung. Sementara Ibunya punya penyakit misteri, di samping ketuaannya tetapi sakitnya itu misterius karena puluhan tahun tak kunjung sembuh (bersyukurlah bagi yang sehat-sehat saja). Sekandungnya banyak sebenarnya, semua kerja dan berumah tangga di luar kota, luar Jawa. Jadinya dia itu semacam manifestasi cinta Allah kepada Ibunya itu, karena merawat sedemikian rupa, sampai ia matikan syahwatnya sendiri--lupa menikah sampai setua itu.

Aku sendiri ketika menelaah dia, ingat akan seorang pemuda yang menawarkan diri mau ikut hijrah ke Madinah, saat itu Kanjeng Nabi saw bertanya: masihkah kamu punya seorang Ibu? Masih Ya Rasulallah--jawab pemuda itu--malah sekarang baru sakit dan saat aku pamiti beliau menangis. Dengan kearifan cinta beliau, beliau menyatakan: kamu tidak usah ikut hijrah aku, rawatlah Ibumu pahalamu sama dengan hijrahku, buatlah Ibumu tersenyum sebagaimana engkau telah membuatnya menangis.

Kalau aku ketemu dia kala menjenguk Ibunya, memastikan aku ingat akan pemuda yang sowan Kanjeng Nabi saw itu. Ketika aku menatapnya, aku musti yang tertunduk malu--bahkan meneteskan air mata--karena aku lihat dia: memasakkan, mencuci, membersihkan rumah, menyuapi, memandikan, menceboki, memijiti, meminumi dengan sepenuh keikhlasan, kepada Ibunya tersayang itu. Hampir tidak ada waktu berpisah dengan Ibu itu, seluruh jasad dan hatinya dipersembahkan kepada Ibunya, kalau Ibunya tertidur dia tidur juga di sisi ranjang Ibunya.

Sempat berbisik lembut kepadaku Ibu itu: Nak Kiai, anakku ini cintanya kepadaku sedemikian tulus, dengannya aku merasakan kehadiran cinta Gusti Allah, aku menjadi saksi bahwa dialah anak yang sepantasnya memperoleh surga di sisiNya. Aku menangis mendengarnya, aku menangis malu: bisakah diriku semacam anak ini. Soal do'a, bukankah tidak ada do'a yang melebihi keramatnya dari do'a seorang Ibu.

Ternyata yang semakin parah sakitnya itu, anak yang soleh ini, sehingga ia menjemput ajal disisi Ibunya ini, dia telah sempurna melaksanakan cinta. Ketika derai tangis dan airmata di rumah Ibu itu terjadi karena meningalnya anak perjaka tua, selang sepuluh menit berikutnya Ibunya itu tidak menangis, dengan sesungging senyum dibibir tuanya: Ibu itu menyusul anak cinta itu, meninggal juga.

Rumah ini bagai khotbah kepada manusia, khotbah cinta, semua pelayat mulutnya terkatup, andai bicara banyak yang mengeluarkan airmata. Rata-rata aku lihat semua tertunduk malu--termasuk aku--yang didera dan digedor hatinya bisakah aku seperti anak perjaka tua itu, aku malu, aku malu, aku malu!!!!!!!....

Kawan-kawan, prosesi pemakaman sedemikian melimpah, satu rumah meninggal bersamaan, dunia mana hal ini bisa terjadi kalau bukan saat musibah besar melanda. Aku merasa tidak hanya pelayat yang melimpah tetapi para malaikat, ruh-ruh suci bahkan Alllah sendiri tersenyum menyaksikan peradaban agung saat itu. Ketika aku melihat penguburan beliau berdua berdampingan, lalu aku yang diminta menalkinnya, aku tidak kuasa menalkin dengan suara, aku menalkinnya dengan airmata terhadap sejoli cinta ini....


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel