ROKOK CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, kalau orang memahami adab lahiriyah dan batiniyah, tentu melihat berbagai persoalan hidup yang muncul ke permukaan ini sebagai tajalli cahaya terpuji itu, tentu ia akan memiliki pemahaman yang sangat bijak, dimana pada ujung-ujungnya ia tidak akan berani menghakimi pihak lain, sebab dalam ranah muamalah sejauh apapun perbedaan ini, ada manfaatnya, sehingga adab yang terakhir dibayar adalah lakum dinukum waliyadin, terakhir, walana amaluna lakum amalukum, selesai dan damai.
Kalau toh sampai ada geger2 hukum itulah kalau ingin tahu bahwa bukan saja dalam ranah pemerintahan itu ada firaun, tetapi juga ada firaun-firaun dalam agama, yang ciri utamanya adalah mengedepankan hukum2 lahiriyah, bukan untuk menghakimi dirinya yang masih banyak dosanya itu, tetapi menghakimi pihak lain yang tidak diketahui secara detail, sebab-sebabnya kenapa ia melakukan sesuatu.
Misalnya orang yang akan aku kisahkan ini, adalah orang yang terbuang di tengah kota Semarang, aku sebut terbuang karena menempati gubug di tengah sawah berdua, mengisi hari-hari tuanya, karena anak-anaknya sudah mandiri, berdua berteman sepi dengan menanam kangkung (sayuran) di sawah yang bukan miliknya. Kalau aku gambarkan rumahnya seperti tempat gubuk2 kecil di pinggir stasiun Gambir dan Jatinegara Jakarta itu.
Ia seorang perokok kelas berat, kabar-kabar donyo (dunia) tak pernah ia dengar dan tahu. Merokoknya pakai linthingan, tempatnya lopak-lopak (kotak seperti lambaran stempel), mau beli rokok pabrik, ia tak mampu. Yang menjadi filosofis adalah, merokok itu menurutnya jangan dipandang dari sisi luarnya, namun lihatlah kandungan didalamnya.
Aneh, merokok disamping menurutnya bisa, menurutnya lho, bisa menyembuhkan penyakit tertentu namun juga bermakna isaplah yang baik, sebulkan (buang) yang buruk, tambah lagi saat dia merokok, tidak seperti yang aku sering bilang sebagai sarana dzikir (yaa Huu), namun dalam abstraksinya merokok, dia pakai harian sebagai sarana bersholawat, kayak tukang kerok itu.
Sambil merawat lahan kangkung di sekitar gubuknya yang selalu hijau itu, lalu setiap dini hari mereka bawa ke pasar dijual. Begitu begitu saja setiap harinya, kecuali kalau ada pengajian dan undangan2 saudaranya, mereka datangi. Bersholawat cara dia seperti itu kan aneh, tapi ajaib. Dalam rindunya yang sunyi di dada, karena tidak pakai gaya-gaya seremonial pada umumnya, dijawab juga oleh Rosullah.
Kerja yang keras merawat sayur kangkung, ia tabung, hanya ingin rasanya sebelum mati, mereka di kasih kesempatan bisa ziarah ke makan Nabi, kekasih Allah itu. Seluruh orang kampung menjadi geger, si tukang sayur kangkung itu, naik haji berdua. Berangkat begitu saja, tidak mampu menyelenggarakan upacara apa2, saat mereka pamit dengan bersilaturrahmi ke rumah masing-masing orang sekitar sawah kangkungnya, mohon doa restu...
Kawan2, marilah kita latih diri kita untuk menahan tidak membiasakan menghakimi pihak lain, kenapa mereka melakukan hal tersebut, termasuk hal2 sepele soal rokok, atau soal lainnya yang kita tidak tahu kedalamannya, yang bisa dijadikan alasan hukum itu. Aku lebih takut, sebagaimana Kanjeng Nabi di akhirat nanti malu, kalau orang yang mengaku nasabnya dan mengaku umatnya, tetapi tidak membawa amal baiknya, dan tidak kangen bertemu dengannya setelah menerima banyak kehormatan yang disandarkan kepada kekasih Allah itu.
Banyak orang yang moyoki orang merokok dengan bangga dan dengan dalil2 pendukungnya, didadanya kosong oleh rindu bertemu dengan Kanjeng Nabi, ternyata diganjar ditolak seumur-umur tidak sampai ke pusara suci itu, sampai mereka mati....
Tidak seperti tukang sayur yang merokok itu...hehe


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel