REJEKI CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, orang Jawa kalau sedang mendapat penyakit atau musibah selalu merendah hatinya: nembe pikantuk ganjaran (baru mendapat hukuman). Kerendahan hati ini bukan tanpa landasan, apalagi sebesar penyakit atau musibah, Kanjeng Nabi memberi khabar, walau kena ujung jarum sekalipun itu bisa menjadi tebusan dosa. Jadinya, besar kecilnya derita akan menjadikan pembersihan diri, sesuai dengan timbanganNya, tidak sekedar besok tetapi sekarang ini, supaya pulang ke Dia, beres.

Sementara orang ada yang berlimpah kemakmuran dan kesehatan, dengan sumber yang tidak halal, dibiarkan Tuhan--tanpa derita. Mereka merasa selamat, merasa tidak ada apa-apa, aman-aman saja, mereka bangga walau tidak disapa Dia. Inilah yang disebut Rumi: tiyang gantungan.

Tersebutlah dalam kisah, Ibnu Umi Maktum, si buta tua sowan ke Kanjeng Nabi SAW, detik itu turun ayat 'abasa watawalla an jaahula'ma wamayudrika la'allahu yazzakka (The Prophet) frowned And turned away, Because there came to him The blind man interrupting). But what could tell there But that perchance he might Grow (in spiritual understanding), karena Kanjeng Nabi memalingkan si buta tua itu pada saat di dalam rumah ada para pembesar masyarakat, padahal kedatangan si buta ini lebih mulia dari mereka sebab mau bebersih diri.

Maafkan aku wahai Ibnu Umi Maktum--sapa Rasulullah--ada apa? Wahai Rasulullah--jeritnya--aku ini buta sudah tua, kalau toh aku tinggal di dunia ini tinggal berapa lama, bahkan tidak lama lagi, berilah aku petunjuk untuk bagaimana dosa-dosaku terampuni oleh Allah. Oo iya Ibnu Umi Maktum--sahut Kanjeng Nabi saw--karena engkau buta dan tentu yang berfungsi adalah telingamu, maka ketika ada suara Adzan dari Masjid, suara itu rangkullah sepenuhnya dengan cara: tinggalkan rumahmu, berangkatlah dengan langkah tongkatmu ini, mengikuti jejak suara sampai ke pusatnya, masjid. Berangkatlah dengan mandiri, kalau nanti ada apa-apa di jalan, terimalah, itu sudah rejekimu, rejeki cinta dari Dia.

Petuah beliau ini dengan serta merta dijalankan Ibnu Umi Maktum itu. Terdengarlah Adzan Subuh: Allahu akbar Allaahu Akbar. Bagai pendekar, si buta shaleh ini mulai mengayunkan langkah merangkul cahaya dengan tongkatnya, menuju masjid. Allahu Akbar Allaahu Akbar. Pesan kemandirian dipegang olehnya, tidak minta tolong siapapun. Asyhadu allaa ilaaha illallah. Di balik kegelapan matanya, suara itu nampak jelas, cahaya itu nampak indah. Asyhadu alla ilaaha illaah. Dia ingat kata Kanjeng Nabi, bahwa orang buta kalau ridho dan sabar, jaminannya adalah surga. Asyhadu anna muhammadar rasuulullaah. Menerawang di balik buta matanya, semua kata-kata suci Kanjeng Nabi dia ingat terutama akhirat lebih baik dari dunia ini. Asyhadu anna muhammadar rasuululaah. Semesta yang tidak ia lihat pesonanya, tetapi ia melihat Nur Muhammad di mata hatinya. Hayya 'alash sholah. Sampai panggilan ini ternyata tongkatnya menyentuh sebuah batu dan keseimbangan dirinya hilang, maka ambruklah dia, tumbanglah tubuhnya, dan pipinya ternyata mengenahi sebuah batu runcing, ia ambil dan keluarlah darah segar. Sementara adzan terus berlangsung. Ia bertarung dengan dirinya kalau ada sesuatu di jalan --kata Kanjeng Nabi--sudah menjadi rejekinya.

Langkah kembali ia ayunkan dengan tangan satunya memegang tongkat, tangan satunya memegang pipinya yang mengucurkan darah. Begitu sampai serambi masjid, para sahabat menyambanginya dan melihat Kanjeng Nabi datang sambil tersenyum. Sahabat bertanya: wahai Rasulullah kenapa engkau tersenyum? Beliau menjawab: Wahai Ibnu umi Maktun, barusan aku dikabari malaikat Jibril bahwa atas deritamu ini, dosamu separo sudah hilang. Tersenyumlah si buta ini--dalam hatinya berbisik--berarti kalau nanti jatuh lagi berarti seluruh dosaku habis.

Manusia ada lupanya, sering si buta ini begitu ada yang menyentuh tangannya menuntun, ia turuti, lupa kemandirian itu. Maka berulang kejadiannya, selamatlah dia. Untuk kali ini dia meradang: siapa kau sebenarnya selalu rajin menuntunku, aku dipesani Rasulullah untuk mandiri, kalau kau tidak menjawab, aku tidak ingin kau tuntun.

Wahai Ibnu Umi Maktum--suara menjawab--aku ini Iblis. Lho--sahutnya--mana ada Iblis menuntun dalam jalan kebaikan? Bukan begitu Ibnu Umi Maktum--sahut Iblis--aku menuntunmu itu bukan ranah kebaikanku, tetapi aku hanya menjagamu supaya tidak jatuh lagi, sebab kalau kau jatuh lagi, berati dosamu yang separo lagi hilang seperti yang disebutkan Kanjeng Nabi itu....

catatan :  

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2

  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.

Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan.


Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel