PUTARAN CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, ketika Siti Fatimah binti Rasulullah kedatangan pengemis dan sedang tidak punya apa-apa, maka sebuah kalung emas hadiah dari Kanjeng Nabi diberikan kepada pengemis itu, terserah laku berapa. Begitu ketemu pembeli, tanpa tawar menawar pembeli itu langsung minta berapa harganya kepada pengemis, lalu transaksi selesai. Cinta melampaui ranah perhitungan dagang, begitu cepat. Tidak tahunya, pembeli itulah yang memang menghadiahkan kalung emas itu kepada Kanjeng Nabi, sehingga dia bayar sesuka pengemis bilang harganya. Di tangan Kanjeng Nabi, kalung itu dihadiahkan putrinya, ya Siti Fatimah Az-Zahrah itu.

Dengan merahasiakan kekagetannya kenapa kalung emas ini bisa di tangan pengemis, kalung tersebut dihadiahkan kepada Rasulullah untuk yang ke dua kali, oleh pedagang emas yang shaleh. Kanjeng Nabi lalu memanggil putrinya dan menyerahkan kalung yang sudah diserahkan pengemis itu: Ya Fatimah, ini kalungmu, dikembalikan Allah setelah berputar memenuhi kebutuhan hambaNya, bersyukurlah. Memang harta itu kalau tidak ingin tercuri, terampok, terbakar atau membusuk harus ditipkan Allah dengan cara disedekahkan. Kalau engkau butuh--pesan Allah--bilang langsunglah kepada Ku, maka akan Aku berikan kepadamu: cash!

Aku percaya janji Allah ini. Percaya sepenuhnya. Bukankah dunia ini bagai gunung, kalau kita lepaskan suara indah, maka gaungnya akan kita dengar sendiri lagi keindahannya, ke kuping kita. Orang Jawa selalu menyatakan: ngunduh wohing pakarti, ojo moyok bakal nemplok.

Walau bukan sekelas sedekah kalung emas, ini ada seorang Ibu janda miskin punya anak empat masih kecil-kecil, ingin rasanya yang ragil (paling kecil) bisa merasakan manisnya jeruk yang warna kuning itu. Karena sejak ia hamil anak yang ke empat pernah nyidam jeruk yang tak terbelikan saat suaminya masih hidup. Pagi-pagi pergilah ia ke pasar dengan membawa sekor ayam jago piaraan, untuk dijual, untuk belanja makanan pokok dan sebuah jeruk impian hatinya--untuk anak ragil itu--obat nyidam.

Begitu malam tiba, ketika kakak-kakaknya sedang mengaji di Mushalla kampung, dipanggillah anak ragil itu sambil berbisik dia bilang: Le (nak), tadi Ibu ke pasar disamping nempur (beli beras) dan bumbu, masih ada sisa uang lantas aku belikan kamu sebuah jeruk kuning ini, melihat kulitnya saja indah nak, apalagi rasa isinya, makanlah sekarang sebelum kakak-kakakmu datang. Ternyata sebuah jeruk ini di tangan anak ragil menjadi lain, hatinya menyatakan tidak mau memakannya, karena sudah pernah merasakan ketika dikasih Bu Guru di sekolahan, biar kakaknya saja yang ngicipi (makan).

Begitu semua tertidur--di atas ranjang lebar bareng2--anak ragil ini tidak, lantas dibangunkanlah salah satu kakaknya: kak, tadi aku dikasih Ibu jeruk, namun aku sudah pernah merasakannya, aku rela kakak saja yang makan jeruk ini, aku sudah pernah merasakan. Kakaknya ini memiliki perasaan cinta yang sama dengan adiknya, dibangunkanlah kakaknya lagi: kak, ini ada jeruk dari adik hadiah Ibu, makan kakak saja, aku sudah pernah merasakan kok, barangkali kakak belum. Kakak ini juga sama, bilang kakak yang paling besar: kak, aku di kasih jeruk adik, tapi aku sudah pernah merasakan, barangkali kakak belum.

Saling membangunkan dengan tempo yang berbeda karena menjaga perasaan saudaranya, pada jam menjelang subuh. Kakak paling besar ini membangunkan Ibunya: Mak (Ibu), aku dikasih jeruk adik, tapi aku sudah pernah merasakannya kok Mak, ini jeruk untuk Emak aja.....

Kawan-kawan, sebuah jeruk berputar, pada saat tarkhim sayup-sayup terdengar dari Masjid Agung kampung, dibangunkannya anak-anak itu semua oleh Ibu, jalan satu-satunya Ibu itu bilang kepada anak-anaknya: Le (anak-anak), ayo sebuah jeruk ini kita bagi, kita makan bersama pagi ini.

Sembab sudah mata Ibu ini dengan hati yang gembira tiada tara, karena merasa dihadiai anak-anak yang penuh cinta: Nak, alangkah indah akhlakmu, aku bahagia pagi ini, aku bahagia sekali, aku bahagia sekali Nak, ayo kita makan bersama.......

catatan :  

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2

  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.

Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan.


Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel