PERON CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, pagi ini (jam 03. 00 WIB) aku menerima rombongan rebana Al-Majnun dari Bojonegoro, mereka mampir sebelum acara besok di Pantai Marina Semarang, walimah temanten. Group ini menamakan diri dengan Al-Majnun (si gila), mengandaikan diri dalam mewujudkan cintanya kepada Kanjeng Nabi SAW, melebihi dari cinta Qois kepada Layla itu. Aku sering mendatangi markasnya di pinggir sungai Bengawan Solo, yang kerap kali kebanjiran itu.

Dalam melayani masyarakat, mereka tanpa transaksi, orang-orangnya masih muda, hatinya dihiasi keikhlasan, dikomandoi oleh Kiai Hasyim. Seluruh anggotanya 24 orang, mereka sekarang membaringkan kelelahan di rumah cinta ini, sepertinya membalasku yang sering datang ke markasnya itu. Rombongan ini pernah aku ajak silaturrahmi ke Kenduri Cinta Cikini Jakarta, di TIM dengan menumpang kereta ekonomi Kertajaya. Sampai di Jakarta aku ajak silaturrahmi ke tempat Andi Priok, rombongan ini dalam keadaan apapun anti mengeluh, keikhlasannya menjadi energi yang hebat. Jenis musik yang diusung rebana hadrah dan balasik, latar belakang pemainnya: petani, tukang ojek, santri pesantren, dan guru-guru madrasah.

Aku selalu ditunjukkan bukti bahwa Indonesia tidak seperti yang tertera dalam media, kebaikan semacam mereka bagiku menjadi salah satu tumpu rahmat Allah diturunkan sehingga Indonesia tidak akan diberi kerusakan disebabkan penduduknya masih ada yang berbuat baik, seperti kebaikannya group ini. Anak muda, taat dan tawadzu', tidak seperti kebanyakan yang diberitakan media, anak muda merampok, mencuri, memperkosa, amuk masa dan lain sebagainya.

Sepertinya aku menemukan mutiara di kedalaman kampung, pinggir kali Bengawansolo. Malamnya mereka bersamaku, tampil di Kenduri Cinta, aku ajak juga pemain mandolin piawai: Habib Sholeh Jakarta. Kala itu suasana sangat makmur, sampai-sampai ada tamu dari Yaman yang menginap di Hotel Aliya turun menyambangi group ini begitu mendengar denting dawai mandolin yang dipethik oleh Habib Sholeh itu. Cak Nun yang dini hari datang menutup dengan suluk yang diiringi grup gendeng ini, malam sampai pagi menjadi kemesraan bagai perayaan temanten saja.

Selesai di TIM, kami dijemput oleh saudaraku Dick Doank sebab malamnya harus menemani pengajian As-Sajadah Kandang Jurang Doank Tangerang, juga sampai pagi jam 03.00WIB. Sepertinya kami tidak boleh istirahat, sebab paginya harus naik kereta ekonomi lagi melalui Stasion Jatinegara, menuju Bojonegoro, malam mereka ada acara di sana. Tiket sudah beli, menanti pemberangkatan yang panjang, selama tiga jam, setelah kami menikmati nasi bungkus sambil duduk melingkar di Peron, begitu saja muncul gagasanku: ambil rebana, kita selawatan di Peron ini.

Bagi orang menunggu sebuah siksaan yang menjengkelkan, kami hiasi waktu dengan keasyikan merajut cinta di Peron itu. Shalawat menggema di Stasion Jatinegara, mata orang-orang memandang dengan senyum, kereta riuh lalu lalang, loud spiker menjerit-jeritkan pengumuman, asongan bersliweran, penumpang berjubel naik turun, pengamen lalu lalang.

Mengamati itu saja, terbayang di hatiku bagai miniatur mahsyar, orang bergerombol sesuai dengan kelompoknya, termasuk di suatu sudut Peron aku lirik sepasang kekasih saling merindu, menganggap yang lain tidak ada. Tiba-tiba ada beberapa satpam Stasion mendatangi kami, dengan ujung melarang rebana ditabuh, namun aku minta diteruskan setelah bilang kepada satpam: Mas, semua orang kau bebaskan, termasuk pengamen-pengamen itu, dikira group ini bukan pengamen, mereka mengamen dengan do'a-do'a dengan harapan seluruh penumpang kereta ini selamat dan diberkahi Allah....

Kawan-kawan, selebihnya satpam tersenyum gembira, merelakan kami bershalawat ria menunggu kereta, di Peron itu. Tidak lama setelah berhenti datanglah sepasang Bapak-Ibu mendekati group ini--asli Cirebon--meminta untuk tampil dihajat menikahkan anaknya, dengan hari yang sudah disepakati. Lalu kami naik kereta lagi, walau atap bocor, bau pesing sudah kelasnya, kereta mondak-mandek di setiap stasion, pedagang menjerit-jerit, kami bisa tidur nyenyak, karena kelelahan itu....

catatan :  

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2

  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.

Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan.


Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel