PEGADAIAN CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, beberapa waktu yang lalu aku mengisi acara ulang tahun di kantor pegadaian Semarang, sederhana namun ada hal yang menarik dari sambutan pimpinannya--Saudara2, kita bersyukur atas nikmat Allah, dan berterimakasih kepada orang-orang kecil, karena institusi kita ini eksis karena berhadapan dengan wong-wong cilik itu, atas doa-doa mereka kita ada. Menurutku, pimpinan ini memiliki kerendahan hati, bahkan di dadanya ada cinta sampai menetes kata-kata andap ashor (penuh tatakrama).

Menurutku benar sekali, kalau ada kebutuhan mendesak--karena kehidupannya Senen Kemis--orang-orang kecil seperti orang tuaku, mungkin orang tua kawan-kawan juga, kalau kepepet tidak bisa membayar SPP sekolah atau beaya kuliyah, larinya ke pegadaian (mengatasi masalah tanpa masalah), pasti. Kenanglah itu. Saat kecilku, dengan sepeda jengki, aku sering bolak-balik ke Pegadaian Kecamatan Gubuk Purwodadi, memboncengkan Ibuku (sekitar tahun 1975), kelas V SD. Jadinya lucu kalau dilihat, mengayuh sepeda jengki--karena terlalu kecil dibandingkan sepedanya--bagai kethek ogleng, goyang kanan kiri. Sementara Ibuku (janda sejak aku kelas II) memboceng, kadang membawa jarit (tapeh, semacem selendang dipakai bawahan orang2 Jawa dulu) beberapa biji, kadang membonceng sambil bawa lampu petromak, kadang membawa perhiasan (bukan milik Ibuku tapi pinjam saudara), tiada lain untuk digadaikan buat membayar SPP kami bersaudara.

Kenanglah itu kawan, orang tuamu kalau seperti Ibuku, dirimu seperti aku. Mengenang cinta seperti itu, hati menjadi saksi, kasih sayang Allah nampak jelas melewati percikan cinta orang tua kita itu. Siapa yang bisa melupakan. Sehingga dalam dadaku--dadamu juga kan, kawan--menggelora rasa malu, besok kalau jadi orang (sudah dewasa), akan membalas membahagiakan Ibuku, sesuai dengan harapan beliau itu. Jadi orang. Begitu dewasa , kesarjanaan diperoleh melewati derita panjang beliau, berumah tangga sudah, melahirkan cucu-cucu beliau. Namun nawaitu untuk membalas, ternyata musnah. Kita sibuk sendiri dengan kebutuhan yang tak bertepi, menjenguk kala beliau sedang meradang sakit tidak sempat, punya istri hanya kita yang dicintai, beliau diremeh-remehkan--bahkan menginap di rumah kita sebentar--banyak istri yang rasanya ingin mengusir beliau.

Mengenang ini semua hatiku runtuh kawan, walau itu Ibumu Ayahmu, bukankah itu orang tuaku juga. Gejolak malu belum mampu imbang membalasnya--seperti aku--begitu kabar mendadak Ibuku meninggal, menjulang tinggi rasa maluku....

Ibu.... derita panjangmu, kini tambah tak terbayar lagi bagiku, rencana aku membahagiakan dirimu--maafkan--hanyalah rencana, hanyalah rencana, hanyalah rencana, sempurna sudah engkau menyayangiku, tapi tak sempurna cintaku padamu, ketika aku memanjatkan doa-doa kepadamu, bagai godam menghentakkan hatiku memperbesar rasa maluku,demi anakmu ini semua kau gadaikan,termasuk cintamu hingga yang tertinggal lembaran-lembaran deritamu itu....

Ibu....

catatan :  

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2

  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.

Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan.


Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel