PANGGILAN CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, aku sering menungguhi saat-saat orang sedang sekaratul maut: nenek-nenek dari ayah ibuku, beberapa orang kampung, sampai Ibunya saudaraku Dick Doank itu. Tetapi orang yang satu ini aneh: dia dan keluarganya tidak kenal aku. Dalam sekaratnya, dia bisa bicara patah-patah menyuruh suaminya --seorang tentara--mencarikan orang yang namanya Kiai Budi. Tentu suaminya gelagapan, dimana Kiai Budi berada, posisi yang sekarat ini berada di Rumah Sakit Tentara Magelang.

Tanya, tanya, tanya sesama tentara lewat HT antar tentara, pencarian cepat terjawab. Ada seorang anggota koramil kecamatan Tembalang Semarang datang ke Pesantren, aku diminta saat itu juga ke sana. Gayaku meniru adab Kanjeng Nabi, tidak ada yang tidak (lawala). Dengan mobil Blazer (bukan miliku) aku meluncur ke Magelang, karena melayani orang sekaratul maut, aku suruh secepat angin itu sopir.

Begitu sampai Rumah Sakit, nampak sosok perempuan pucat, membujur diselimuti kain putih, dikelilingi keluarganya--tentu dengan mata yang sembab semuanya: ayah ibunya, suaminya, kakak adiknya, beberapa kawannya sesama istri tentara. Bagitu aku datang, suaminya membisikkan ke telinga istrinya: Pak Kiai Budi datang.

Aku amati, dia membuka matanya amat pelaaan, bibir bergerak pelaan, suaranya tipis, lalu bilang--sambil terngah-engah: Pak Budi, sebelum aku mati, bimbinglah aku sholawat dulu....

Kemudian aku tanya, ada permintaa apa lagi, dia menjawab: aku mau minta minum berempat (aku, dia, kedua orang tuanya yang terbang dari Riau ). Setelah kami minum segelas air putih berempat, terakhir dia, aku sambil jongkok supaya setara dengan telinga kanan dia, membimbing selawat. Saat itu aku teringat kata suci Kanjeng Nabi, barangsiapa yang bersholawat--tentu dengan keriduan yang tiada terperi--saat matinya, malaikat Izrail mencabut nyawanya dengan adab sopan santun mencabut nyawa para Nabi dan Rasul.

Dan saat seperti itu aku merasa bahwa fadlilah bersholawat dengan cara mengikuti jejak-jejak cintanya, bertaburan memenuhi semesta raya, sampai pada perempuan ini. Dan Nabi saw itu orang yang tidak tegaan, tentu derita perempuan yang sakit lever akut ini tidak berkepanjangan. Namun pihak keluarga, tentu tetap pada harapan ada keajaiban kesembuhan, siapa sih yang begitu gampang rela ditinggal mati sanak keluarganya.

Dengan pelan-pelan aku tempelkan bibirku ke telinga perempuan ini,sholawat terpendek: Allahumma, dia menirukan lembut pelan, Allahumma. Shalli 'alaa, dia menirukan, shalli 'alaa. Sayyidina, dia menurukan, Sayyidina. Muhammad, dia menirukan tersendat, Muhammad. Demikian terus sampai sebelas kali, setelah itu dia berbisik terimakasih dengan ujung suara hilang, lalu mata dipejamkam lagi, selamanya….

Kawan-kawan, aku yang membimbing shalawat ini cemburu kepada perempuan ini, cemburu atas nyerinya rindu sampai pada titik ketidak sadarannya bisa sejenak menyempatkan berselawat dulu lalu meningggal, dengan berlinang airmata kerinduanku kepada Kekasih Allah itu, aku pulang ke Semarang dengan mulut terkatup: bisakah aku mengakhiri hidupku nanti seperti perempuan itu....

bisakah ya Allah....

bisakah....

catatan :  

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2

  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.

Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan.


Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel