OBSESI CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, pertanyaan Tuhan: nikmat manakah yang bisa kau dustakan, sebenarnya merupakan salah satu pernyataan yang sangat obsesif, maknanya karunia-karunia yang tak terhitung ini selalu mengelebat di hati, ujungnya ingat Dia sangat sulit dihilangkan. Dimana kita berpaling di situ nampak wajahNya, secara abstaksi.

Sesungguhnya dalam ciptaan langit dan bumi, serta pergantian siang dan malam hari, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang cerdik cendikia. Yakni, orang yang ingat Dia ketika duduk, berdiri dan berbaring, mereka selalu berfikir atas ciptaan langit dan bumi. Pada akhirnya menggetarkan hati seraya berdo'a: Wahai Tuhan kami tidak ada yang Kau cipta semuanya ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, jauhkan kami dari api neraka.

Bagi pecinta selalu obsesif, sehingga ada ungkapan: Barang siapa mencintai sesuatu, ia akan menjadi budaknya. Obyek cinta sedemikian melimpah, soal level itulah yang akan menjadi peringkatnya, karena jiwa selalu berpotensi hasrat mencari. Karena masing-masing mencari jawaban hasrat dan gairah, maka sebenarnya orang tidak mungkin punya waktu untuk menghakimi pihak lain, kecuali mengenang atas kebaikannya, sekecil apapun--biar tumbuh cinta.

Gambaran-gambaran obsesi ini yang tak bertepi ini bukan bahan olok-olok, malah menjadi ayat-ayat perjalanan arus cinta itu. Lihatlah orang suku burung, suka motor, suka mobil, suka pacar, suka, suka, suka, suka. Atas kesukaannya ini, mereka merasakan manisnya derita dengan bukti merawatnya dengan sepenuhnya, sampai lupa selain obsesinya itu.

Dalam hitungan detik, ketika Nabi Musa mandi melihat seekor belalang dengan warna keemasan, menjadikan beliau mengejarnya sampai lupa kalau beliau itu lari dengan telanjang, hingga Tuhan menegurnya. Baru seekor belalang yang sangat indah menjadikan Musa detik itu juga lupa diri dan lupa Kekasihnya itu.

Lihatlah banyak manusia mencintai sesuatu, sampai lupa diri dan lupa Tuhannya. Andai arus cinta itu menanjak, maka manusia akan memperoleh puncaknya: Cinta Tuhan dan tidak melupakan semuanya, termasuk dirinya itu.

Tersebutlah cerita, seorang yang baru pulang haji bilang kepada Buya Hamka: Buya….ternyata aku melihat sendiri di tanah suci dan di kota Nabi, ada pelacur. Dengan menggoda orang itu Buya menjawab: Di Jakarta, aku tidak pernah melihat ada pelacur....

Kawan-kawan, bisa anda bayangkan, orang yang menjadi tamu Allah saja masih terbersit dalam pikiran yang tak hilang: pelacur. Karena ini bagian dari tingkat obsesi cintanya maka pikiran itu dijawab oleh Allah, walau di tanah suci dan di kota nabi, Dia mempertemukan dengan obsesinya itu, seorang pelacur. Sementara di Jakarta yang jelas-jelas banyak kemesuman bertebaran, karena dalam ketakhilangan atas ingat Tuhan selalu, maka orang ini dijawab Tuhan dengan dihanyutkan kepada pemikiran yang selain pelacur: bentuknya bisa shalat, tahajjud, tadarrus, silaturrahmi, memulyakan tamu, menghargai tetangga, melayat yang meninggal, menghadiri undangan saudara, menolong anak yatim, mendo'akan orang bersin, menjawab uluk salam, bercengkerama dengan keluarga, menghadiri pengajian, menyingkirkan duri dari jalan, tersenyum ketika ketemu saudara dan seterusnya.

Mereka terobsesi Tuhan dengan menyapa semua miliknya dengan cinta sepenuhnya. Kalau orang bilang obsesi itu penyakit jiwa, benar adanya kalau hanya mandek kepada kurnia-kurnia. Tetapi tidak penyakit jiwa kalau obsesi itu terhadap Dia, karena Dia tidak butuh makhluk maka cinta itu turun kepada karunia, atas energi dan restu Tuhan. Kalau begitu, di Jakarta tidak ada pelacur, tidak ada, tidak ada….

catatan :  

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2

  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.

Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan.


Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel