NASI GORENG CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, maafkan aku kalau bertutur kebaikan, semata niatku tahaddusts binnikmah, ini terjadi saat aku pulang dari pengajian, sekitar jam duabelas malam, pakai roda dua berboncengan dengan santri. Biasa, kalau aku pulang dari pengajian itu jajan2 di kaki lima, mampir ke rumah sahabat-sahabat, hanya niatnya melek itu.
Saat itu aku jajan nasi goreng, pesan dua porsi untuk kami berdua, tempatnya di Semarang Timur. Sambil menunggu nasi goreng, merokok dan minum teh hangat, dialog sama yang jualan di kaki lima itu. Tengok kanan-kiri, ternyata ada deretan becak parkir tertutup plastik tebal depannya, dan dari samping terlihat, tukang becaknya mlungker di dalam, sesekali polah (bergerak), maka terdengan kresak-kresek amat keras, suara plastik itu.
Bau bumbu nasi goreng ketika dimasak terasa menyengat hidungku, lalu aku berfikir, tukang-tukang becak ini tentu sejak sore tersengat bau nasi goreng kayak gini, dan apa mereka sudah makan dan mencicipi? Aku dengar ada yang bersin, ada yang batuk dan ada yang turun sambil menggeliatkan badan, aku hitung jumlahnya enam orang, enam becak. Ketika nasi goreng pesanan itu disodorkan di depanku, dengan setteng seperti itu, aku tidak jadi makan, kalau enam orang itu tidak melu ngicipi nasi goreng malam ini.
Ketika aku tanyakan penjualnya, hanya tinggal empat porsi, aku pikir pas bagi mereka kalau kami tambahi dua porsi dariku dan santri. Maka yang turun dari becak itu aku minta membangunkan teman-temannya, serentak mereka aku persilahkan duduk bersama, menunggu yang belum jadi. Aku lihat wajah-wajah mereka nampak lebih tua dari usia yang sebenarnya.
Sambil minum dan merokok, aku tanya asal daerah, anak-anak mereka dan keberadaan becak mereka di kota ini. Mereka bilang, ada yang tidurnya terbangun karena mimpi diminta sangu anaknya, ada yang agak sakit tapi bagaimana lagi harus mengayuh becak ini, tidak ada pilihan lain, asal halal--katanya. Rata-rata mereka pasrah terhadap keadaan, bagaimana lagi itu, asal halal, asal halal, asal halal, asal halal, suara mereka bersaut-sautan.
Tak lama setelah jagong, nasi sudah mateng, sekarang pas sebanyak mereka, lalu aku persilahkan mereka untuk menikmati, monggo2 mas dinikmati--kataku. Ketika aku membayar, aku saksikan dengan syukur karena mungkin benar dugaanku,sejak sore tadi mereka didera bau menyengat nasi goreng, tapi tidak terbeli bagi mereka, karena aku tanya kenapa tidur di becak ini, mereka bilang belum ada uang untuk membayar sewa becak seminggu ini, jalan macet, banyak konvoi kampanye--kata mereka. Mereka makan dengan lahap, masyaAllah...
Kawan2, aku terus ngeloyor pulang menembus malam, aku tidak ingin ucapan terimakasih dari mereka, khawatir keikhlasanku hilang. Begitu sampai rumah, aku sudah nggak bawa oleh2, dan aku dengar riuh di rumah, ternyata anak-anakku yang banyak itu sedang ngepung nasi goreng buatan uminya di atas nampan, begitu aku lepas baju (blijen--bhs Jawa), aku dan santriku tadi gabung ngepung nasi goreng itu….
Tentu cepat habis, dan anakku yang kecil menjerit--umi bikin lagi….
Lalu bikin lagi….


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel