MISUH CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


edulurku tercinta, aku punya guru [sekaligus ayah] namanya mBak Kambali Lasem, beliau melantikku di sebuah makam padepokannya dengan dikasih kaos seragam pesantrennya: Pesantren Al-Frustasi. Aku dulu dipanggilnya sarjana hukum, pas diwisuda dipanggil "ikhwan", tugasku dalam sebuah majlis hanya dua kalimat: sholla 'alaih dan kabul, dengan pekik puncak suara dan hati yang berulang, kadang bagi siapa yang belum biasa pasti kaget adanya.


mBah Kambali ini biasa dikalangan pesantren disebut "khariqul adah", keluar dari kebiasaan alias nyleneh yang dimaklumi. Mulabukanya [awalnya] aku layani murid atau santrinya dipelbagai lapisan dan strata, lalu aku diminta mengisi khoul ayah beliau--mBah Sujak Bonang, kemudian mengisi acara "mantu juara"nya yang mengantarkan aku bertemu dengah Gus Dur, dan diwisuda menjadi santri Al-Frustasi itu.


Kata-katanya spontan dan penuh misteri, misalnya memanggil orang: hai ASU [padahal maksudnya mendo'akan agar Ahli SUrga], hai Bajingan [BAr ngaJi maNGAN], hai Lonthe [LONTHang-lanthung waE]. Kenylenehan bahasa bisa terjadi dimana-mana, misalnya masjid di padepokannya dikasih tulisan jelas dan besar: Sholat boleh dilanggar [maksudnya sholat boleh di Langgar atau Mushalla]. Ada gurauan yang asyik, misalnya anda mau ke sana, tapi tiba-tiba ada telepon dari beliau: hai asu, kembali nggak usah ke sini, balik, balik! [darimana beliau tahu nomer telepon anda].


Lagi, kala bepergian rombongan sama beliau mampir ke warung, selesai makan memerintah orang yang tak pegang duit sepeserpun: hai Di, bayar, bayar, bayar! Aku lihat mBah Di gemetaran karena memang tak pegang duit, lalu sedemikian pede ia melangkah menuruti gurunya, dirogohlah saku celananya, eh ada uang seratus ribu rupiyah, dibayarkan habis delapan puluh ribu rupiyah dan sisa dua puluh ribu rupiyah, lalu ia kanthongi tanpa merasa bersalah darimana uang itu. mBak Kambali langsung memanggilnya: hai bajingan, mana uang kembaliannya! Semua tertawa dan mBah Di merah padam air mukanya.


Aku sendiri pernah mengisi pengajian di Sarang, tentu melewati Lasem namun aku tak mampir [sowan], aku pun tanpa merasa bersalah kenapa tidak mampir, begitu sampai rumah baru melepas baju beliau telepon: mBah Budi, aku sakit kok tidak kau jenguk [sakit disini menurut beliau itu kangen], maka aku langsung mohon maaf sejadi-jadinya pada beliau itu. Ketika aku jenguk kala sakit kaki, beliau bilang berulang sambil mengelus-elus kakinya: pangapuran, pangapuran, pangapuran [maksudnya setiap sakit melahirkan kafarot dosa, maka memperoleh ampunan], lalu bilang lagi: rabi, rabi, rabi [maksudnya setiap hal harus diilahiyahkan: robbi, robbi, robbi]. Dan masih banyak lagi yang tidak bisa aku ceritakan di sini, tetapi bisa aku kisahkan di catatan lain, di lain waktu.


Yang ingin aku paparkan adalah ketika para santrinya [baik yang di padepokan maupun umum] manakala berdzikr berjama'ah itu serasa gila saja pengucapannya, hal ini bagiku tidak kaget karena memang Kanjeng Nabi saw menganjurkan demikian, bagi yang mau dan mampu itu tentunya. Dzikir disini menyangkut menyebut asma Allah, atau menyebut asma Rasulullah [shalawat]. Kalau dua hal ini sudah umum dan banyak dilakukan oleh komunitas-komunitas yang mau dan mampu juga, namun ada dzikir yang "nyleneh" yakni "dzikir li nafsi" [dzikir untuk diri].


Nah, kalau aku lihat banyak orang misuhi orang lain karena kejengkelannya, tetapi komunitasnya mBah Kambali ini juara misuhi diri mereka sendiri, simaklah dengan kebeningan pandangan: asu, asu, asu, asu, asu, asu, asu [sak kesele], bajingan, bajingan, bajingan [sak kesele], lonthe, lonthe, lonthe [sak kesele]....


Kawan-kawan, kalau ada orang yang misuhi [mengeluarkan kata-kata jorok] kepada orang lain, maka orang itu sebenarnya harus menyadari: siapa sih orang lain itu? Dalam ranah tubuh memang nampak orang lain dengan nama-nama tertentu atau warna kulit tertentu atau suku dan golongan tertentu bahkan agama tertentu, namun dalam ranah jiwa bukankah kita satu dari Yang Satu itu? Makanya ada penggambaran dari Rumi, bahwa dunia ini bagai sebuah gunung, bila kita memekik maka suara kita akan memantul kepada kita kembali. Kalau pekikan itu baik akan terdengar baik kalau buruk maka akan terdengar buruk, di telinga kita kembali.


Mohon maaf, kalau aku mendengar dan melihat siapa pun berbicara tidak baik dalam bentuk seolah dirinya benar adanya, sementara orang lain salah semua, aku berfikir: alangkah tersiksa hatinya, kasihan, kasihan, kasihan, kasihan....


Dan lucunya, mereka bilang: amar makruf nahi mungkar, menurutku lebih baik seperti komunitasnya mBah Kambali : pisuhilah dirimu sendiri, demi kebaikan diri dalam rangka berbaik sangka kepada saudara-saudara kita, tanpa memandang perbedaan itu, misuh Cinta....



Berani?


catatan : 

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian. 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel