MATA CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono

Sedulurku tercinta, kalau mau merenung kawan, pada hakekatnya seluruh tubuh kita itu cacat adanya, memandang sebatas ujungnya apalagi ada aling2, memukul sejauh jangkauan tangan kita, menendang sejauh jangkauan kaki kita, mendengar sejauh ujung gelombang telinga kita. Di tengah kecacatan yang sempurna ini, ternyata menyelubungi hati dengan segala ornamen-ornamennya, yang bisa menembus galaksi-galaksi kongkrit dan abstraksi. Bahkan hatilah yang bisa mengetuk arsy Tuhan, melintasi dimensi fisik, akal dan nafsu kita, terbang hingga disambut dengan gempita, salamun qaulan mirrobbirrahiim, ucapan selamat datang dari Tuhan.
Tidak usah jauh-jauh--pikirku sebagai sampel, aku punya sahabat yang dianugrahi ganjaran cacat mata oleh Tuhan, namanya kang Suradi asli Mranggen Demak. Orangnya masih muda, senyumnya selalu mengembang melebihi tubuhnya yang ndekil, jam tangan selalu ia pakai, tanpa kacamata, sehingga cacat matanya nampak terbuka, selalu pake peci putih lusuh, radio bagian dari sahabatnya, tas cangklong tentu, kebiasaannya menyanyikan lagu Umi Kultsum, legendaris musik orkresta asli Mesir itu, yang konon buta, sehingga aku lihat kalau tampil selalu pakai kacamata hitam, iya kan?
Ajaib kawan! Dia hampir hafal hari kematian para Wali dan orang2 shaleh. Ia bergerak tanpa tongkat, hanya diam sementara atau lama sekali, menanti Allah menggerakkan hati orang mendekat kepadanya dan bertanya--mau kemana? Ketika aku mengisi khoul mBah Khamid Kajoran, begitu aku naik mimbar mataku langsung tertuju ke dia itu, sambil gembira menepuk -nepuk lutut sambil geleng kanan kiri, aku tersenyum merasakan panggilan hatinya--aku ne kiai Budi! Ketika aku mengisi khoul di Padangan Bojonegoro, ia sudah tersenyum di depan panggung sambil melambai-lambaikan tangannya--aku ne kiai Budi! Ketika aku mengisi khoul di mbah Joned Ngayokjokarto, ia sudah cengengesan di samping panggung--aku ne kiai Budi! Begitu seterusnya spesial acara khaul-khaul, dia ada, dia ada, dia ada.
Sederhana dia bergerak, diam lalu ada saja Allah mengutus orang bertanya dan mengantarkan dari halte ke halte sepanjang jalan, sampai kawan, sampai, ya kayak loading itu sistem dia. Setiap usai acara aku suruh orang menuntun dia ke sisiku, aku rangkul dia, aku cium pipi sebagai pemahkotaan kengerian sepanjang jalan. Dan begitu di sisiku, ia dendangkan Wulidal Hudanya Umi Kultsum kesukaanku itu. Wulidal Hudaa... (walau suaranya parau, bikin aku menangis gembira), oh kang Suradi, kau hadirkan jejak-jejak kerinduan ini di hatiku.
Pasti, setiap pulangnya bersamaku, inilah pesta hatiku, sambil mijiti sekenanya kelelahanku, dia berdendang lagu Sukaaro, Oh Ya Salam, Ahlil Hawa, Amli Hayati, semuanya dari Umi Kultsum.... Kawan2, begitu sampai Mranggen ia bergerak sendiri menelusuri lorong2 kampung, tanpa tongkat menuju rumahnya, lagi2 dengan bernyanyi-nyanyi lirih….
Wulidal Hudaa….
Kang Suradi--hatiku bicara--engkau tidak cacat, engkau tidak cacat, engkau tidak cacat….


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel