LUDAH CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, tersebutlah seorang Yahudi di Madinah, di samping sudah sepuh banget, tambah buta lagi. Kalau soal bisa menghargai perbedaan, bukan menjadi masalah, tetapi kebencian hatinya kepada Kanjeng Nabi itu yang menjadikan persoalan. Demikian juga, penduduk dunia, negara, kampung kalau bisa menyadari atas perbedaan itu saling ketergantungan, maka akan menghasilkan ketentraman.
Hanya kebencian yang menjadikan kebaikan berbalik keburukan di matanya, cahaya berbalik kegelapan di dadanya, petunjuk berbalik kesesatan di kalbunya, ampunan berbalik siksaan di hadapannya. Bagi hati yang dipenuhi kebencian, dekat bisa menjadi jauh, manis bisa terasa pahit, kebahagiaan bisa menjadi kesusahan, ringan bisa menjadi berat, jangankan mengangkat derita orang lain, pembenci itu mengangkat dirinya sendiri saja tidak kuat, terbebani hawa kebencian itu, malas jadinya.

Ketika ada jenazah Yahudi lewat, Kanjeng Nabi yang tadinya duduk lalu berdiri tegak menghormati, sampai sahabat ada yang bilang: bukankah ia Yahudi, Ya Rasulullah? Kanjeng Nabi dengan singkat menjawab: kalau kau bilang Yahudi, bukankah ia manusia? Berbeda agama tetapi sama-sama manusia. Berbeda manusia tetapi sama dalam keyakinannya. Berbeda keyakinan tetapi satu negara. Berbeda pendapat tetapi satu agamanya. Dalam menjalin persaudaraan tentu yang dicari adalah titik kesamaannya, jadinya kerukunan yang indah.

Bagi si buta Yahudi ini, setiap orang yang lewat menuju masjid Nabawi, ketika kasihan melihat keadaannya, lalu memberi dirham, bukan terimakasih yang diucapkannya, malah memperolok-olok pemberinya yang muslim itu: Hai, jangan ikuti Muhammad, dia itu ahli sihir, dia itu gila, jangan ikuti dia! Datang lagi orang bersedekah kepadanya, diumpat dengan kalimat kebencian yang sama: Hai, jangan ikuti Muhammad, dia itu ahli sihir, dia itu gila, jangan ikuti dia! Terus begitu, lidah kalau sudah begini tidak ada obatnya kecuali kematian.

Pada saat Kanjeng Nabi lewat, pasti nyambangi dia itu, bukan uang yang diulurkannya, tetapi beberapa biji kurma masak nan manis. Karena buta, si Yahudi ini tidak tahu kalau yang memberi itu orang yang dibencinya habis-habisan, sambil menerima buah kurma tetap meradang: Hai, jangan ikuti Muhammad, dia itu ahli sihir, dia itu gila, jangan ikuti dia, dan memberi bukan dirham namun kurma keras begini, nih kunyahkan dulu yang lembut baru aku makan.

Kekasih Allah ini tidak menampakkan raut yang marah, tetap tersenyum, walau di depan matanya orang menghina, lalu dikunyahkannya kurma itu dengan lidah sucinya, ludah cinta. Lalu Kanjeng Nabi mengulurkan tangannya untuk menyuapkan kunyahan kurma itu ke bibir kebencian. Drama seperti itu dilakukan beliau bertahun tahun, tanpa beban, bagai matahari, beliau berhadapan dengan lilin.

Sampailah pada suatu ketika,setelah Kanjeng Nabi wafat, tradisi indah itu diteruskan oleh Sayyidina Abu Bakar, perbedaannya Sayyidina Abu Bakar tidak mengunyahkan dulu ketika memberi kurma. Tambah meradang si buta itu: siapa engkau yang memberi kurma tidak dikunyah dulu dan tidak menyuapiku seperti biasanya? Aku, Abu Bakar--jawab sang khalifah. Lantas siapa yang tahunan memberiku kurma lalu menyuapiku dengan kelembutan itu--tanya si Yahudi. Sayyidina Abu Bakar menjawab itulah junjunganku Rasulullah....

Kebencian yang dibalas dengan cinta ini, menyebabkan si buta Yahudi lunglai segala sendinya, dengan gemetaran bibirnya dia bertanya: di mana dia sekarang? Sayyidina Abu Bakar menjawab: beliau sudah meninggal, tradisi indah ini aku teruskan untuk sedekah kepadamu. Air mata yahudi meleleh, bibirnya terkunci rapat, dia ingat kata-kata yang diucapkannya di depan beliau: Hai, jangan ikuti Muhammad, dia ahli sihir, dia gila, jangan ikuti dia. Tangan yang gemetaran itu menggapai-gapai Sayyidina Abu Bakar: Wahai penerus cinta, Abu Bakar, kini tidak ada yang bisa menebus keburukan adabku, kecuali, kecuali, kecuali, kecuali, bimbinglah aku sekarang untuk mengucapkan kalimah syahadat, walau dia sudah tiada, aku akan ikuti jejak-jejak cintanya bersamamu, bimbinglah aku....

Kawan-kawan, kekuatan cinta seperti ini bagiku lebih berkesan kuat menghujam dihati manusia, dibanding--misalnya--pidato seindah apapun, prilaku beliau memiliki tetesan kata yang lebih tajam dari ketajaman lidah siapapun, apalagi lidahku, apalagi ludahku....


catatan :  

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2

  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.

Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan.


Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel