LOADING CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono

Sedulurku tercinta, dalam kepasrahan doa, yang kita yakini bahwa Tuhan Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan dan Maha Indah lainnya, cukup kiranya menjadikan kita tinggal menunggu jawabanNya. Hasrat cita dan harapan manakala telah kita setorkan datanya ke Tuhan, bagai menanam benih dalam tanah tinggal menunggu musim semi, percayalah.
Menanamnya itu yang menjadi syarat sunnahnya, soal hasil itu mau langsung, atau ditunda waktunya, atau tersimpan kokoh disisiNya, karena kepasrahan kita, terserah yang andum (membagi), yakni Dia itu yang kita yakini Maha-Maha. Kuatkan hati, dan lihatlah di layar hatimu kawan, ada info jelas kan--loading.
Sebuah episod hidupku, aku yakin anda punya suasana yang sama, problem saja yang berbeda, saat petugas PLN membongkar listrik pondok karena alasan perintah, setelah gagal aku mengemis waktu mengulur seminggu untuk bisa membayarnya. Memang ini kesalahanku, telat tiga bulan, namun seperti biasanya, walau kadang telat petugas ada yang ridlo memaklumi, kanthong sakuku, yang bukan pengusaha, bukan pegawai, bukan siapa-siapa--tetapi kali ini tidak. Listrik dibongkar.
Bisa anda bayangkan, semuanya macet. Seluruh penghuni komplek aku kumpulkan pada malam hari, ditengah cahaya lilin, di aula yang saat itu Cak Nun menyebut komplek ini sebagai rumah cinta. Aku memberi arahan, jangan sampai ada yang mengeluh, kita menimba sumur tua itu untuk mandi dan wudlu, carilah kaleng atau botol kratingdeng untuk bikin lampu oncor, nikmati ini dan kegelapan ini sampai Dia bekerja, tunggulah.
Aku baru tahu beberapa hari ini, di komputer, istilah menanti jawaban atas setoran data-data--namanya loading. Ada yang bisa beli genset, tapi kemampuannya tak mencukupi lokasi komplek, sangat terang. Ada yang beli lilin2, lampu teplok, dan ada yang tidak mau pakai apa-apa. Ketika larut, aku pandang dari kejauhan sedikit, ada orkresta warna di pesantren ini, diterangi temaram cahaya rembulan, yang tentu sampai padhang mbulan, purnama. Usai ngaji, ada yang tetabuhan, jithungan, shalawatan, aku rasakan ada orkrasta musik saja kayaknya. Aku tersenyum, siapa bilang derita itu derita--gumamku. Bisa saja baimu pahit, bagiku manis, bagimu derita bagiku kegembiraan, bagimu racun yang mematikan bagiku ternyata terasa madu yang mengobati.
Suasana itu berjalan tiga bulan tidak terasa, kalau ada yang silaturrahmi menonjok pertanyaan soal kegelapan, aku bilang--mpun rejekine (sudah rezekinya), biasa kan aku sambil tersenyum. Pada saat aku bersama Cak Nun dan M. Nuh (sebelum jadi mentri) di Bang-Bang Wetan, istriku menelpon kalau malam ini ada pimpinan pusat PLN Jakarta, menengok bongkaran dan menikmati kegelapan kita. Kata istriku, mereka semua menangisi sikapnya dan mohon ampun atas pembongkarannya. Saat pejabat itu menelpon, aku bilang--tidak apa-apa, kami masih dikasih tenaga Allah untuk mencari duit, sampai kami bisa masang lagi, kapan-kapan, ampun pemerintah.
Begitu aku sampai rumah, pembongkar itu bersimpuh menunggu, sebelum mereka bicara, aku tahu kehadiran tanpa aku rindukan dan bukan atas kerinduannya---pasanglah lagi sebagaimana engkau semua membongkarnya, kataku pelan tanpa dendam. Malah ketua pembongkar itu pada pamitnya meminta aku menikahkan keluarganya, aku sanggupi juga, biar dia pulang tanpa tangan hampa....
Kawan, dia pulang pamit tersenyum bibirnya, menetes airmatanya….
Maafkan aku Mas-Mas, selamat bekerja semoga baik-baik adanya….


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel