KUNANG CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, dalam pergantian siang dan malam hari selalu ada isyarat yang menjadi pelajaran bagi siapapun yang mau berfikir, apalagi siang malamnya jiwa yang disebut terang dan gelap hati. Manakala hati terang benderang semua nampak jelas, antara yang benar dan salah, antara baik dan buruk, dan antara indah dan tidak--hati bagai ada mataharinya. Namun ketika gelap hati, semua nampak hitam pekat--bagai malam gulita itu, memang ada rembulan yang kadang purnama, memang ada bintang tak berbilang di langit yang membentang, namun semua ini masih kelihatan samar cahayanya sehingga menjadi samar juga pandangan hati manusia.


Bila seseorang mengalami hal yang gulita ini maka harus menyadari akan adanya pergantian siang dan malam hari secara alami, demikian juga masalah suka dan duka itu berputar secara natural--bagai siang dan malam itu, dalam jiwa. Disamping kesadaran akan pergantian ini, orang harus cermat akan adanya hidayah pada setiap jengkal langkahnya, agar hidupnya tidak dipenuhi: kejengkelan, marah, ketergesaan, dan keputusasaan itu, setiap hari.


Bila seseorang terpanggil akan Cinta harus memahami antara pertemuan dan perpisahan itu, bagai menyadari akan adanya siang dan malam hari ini, dimana manakala bertemu maka pertemuan itu menjadi puncak keintiman antara kekasih dengan kekasih [dimana kata-kata sudah tidak dibutuhkan lagi], manakala berpisah maka bukti akan adanya Cinta itu adalah semakin intim dan intens juga antara kekasih dengan kekasih [cuma bentuk inten ini berupa nyeri rindu, yang menghasilkan puisi indah, bukan amarah].


Dengan ini bisa dilihat dengan nyata akan adanya Cinta atau tidak dalam diri seseorang, kalau ketemu kok malah dingin dan tidak nyambung, apalagi saat berpisah akan menjadi ajang kesempatan atas keterpisahan dengan tanpa adanya kenyerian rindu yang melahirkan "kidung suci", jelas bahwa seseorang itu di dadanya tak ada Cinta--demikianlah juga hamba kepada Tuhannya bagai kekasih dengan Kekasih itu.


Lihatlah Cinta seekor burung saja, ia sedemikian percaya akan adanya Cinta itu di dadanya: ia yakin dimana-mana ada karuniaNya sehingga tidak harus menumpuk harta seperti manusia ini, ia berkidung suci begitu saja tanpa transaksi--bukan seperti manusia bernyanyi atau ceramah ini, ia membangun sarang yang rentan akan goyangan angin topan pada ketinggian sebuah pohon itu beserta anak-anaknya tanpa rasa takut seperti takut yang dimilki manusia,dan masih banyak lagi sifat baik burung yang tak dimilki oleh manusia ini.


Ada seekor burung terbang kesana-kemari seharian--menyongsong rejeki--mencari makanan buat anak-anaknya di sarang, namun baru dapat rejeki setelah senja hari, maka ia belum sampai ke sarangnya sudah disergab gulita malam hari. Karena matanya gelap ketika tanpa cahaya matahari, maka ia bertengger pada sebuah ranting pohon di hutan belantara, memang ia lihat rembulan dan bintang gemintang di langit lazuardi namun baginya tak mencukupi matanya untuk meniti lorong malam, untuk kembali ke sarang--menyuapi anak-anaknya menanti sejak pagi hari.


Ia menangis ketika terdengar tawa ceria burung-burung yang sudah bertemu dengan keluarganya di sekeliling ranting tempat ia bertengger itu, lalu mereka bisa menina-bobokkan anak-anaknya dengan lagu-lagu binatang malam, namun tidak baginya karena ia masih dalam perjalanan untuk pulang--ke sarang dimana anak-anaknya menjelang. Semakin malam airmatanya semakin deras mengalir,matanya semakin gelap dan terasa hitam pekat namun tidak hatinya, karena mata hatinya "melihat" dengan jelas bahwa anak-anaknya menanti di sarang itu. Hatinya menghadirkan betapa laparnya anak-anak itu, betapa rindu anak-anak itu atas kedatangannya, selamatkah mereka selama ditinggalkannya, masih terjagakah kini atau sudah terlelap tidur atas dekapan kelaparannya?


Di puncak kerinduannya inilah burung itu berkidung padaNya--pada tengah malam: Ya Allah, selamatkan anak-anakku, lindungi mereka dari marabahaya, karuniaMu yang aku bawa belum sampai pada mereka, lewat akulah cintaMu pada mereka, kehadiranku bagi mereka adalah kesaksian cintaMu ini, biarlah aku lapar asal mereka kenyang ya Robb. Malam ini aku tidak bisa pulang ke sarang, memang banyak burung-burung di sekelilingku malam ini tetapi mereka asyik dengan keluarganya sendiri-sendiri, aku malam ini bagai di sahara tanpa tepi, aku pasrah kepadaMu, tolonglah bagaimana caraMu agar aku bisa pulang dan kesaksian cintaMu pada anak-anak itu menjadi terang benderang--bahwa aku pulang, aku pulang, aku pulang, aku pulang, aku pulang....


Kawan-kawan, datanglah seekor kunang-kunang mengitari burung itu sambil selalu terbang, ke kanan kirinya, ke depan belakangnya, ke atas bawahnya dengan cahaya kerlip-kerlip itu, sambil bilang dengan lembut dan merdu meratu: Wahai burung perindu anakmu, aku dengar tangismu atas kabar dari angin yang mendesir nan begitu dingin malam ini, aku ini orang kecil wahai kawan tetapi akuilah bahwa aku ini juga saudaramu sebelantara di hutan ini, aku tahu deritamu ini, maka aku tawarkan kepadamu supaya tangismu dan tangis anak-anakmu berhenti karena saling merindukan pertemuan malam ini, mari aku tuntun engkau saudaraku di tengah gulita malam ini dengan kecilnya cahayaku, untuk menuju sarangmu dimana anak-anakmu menunggu, dimana anak-anakmu merindu padamu, dimana anak-anakmu berbahagia bisa bertemu dengan dirimu, dimana anak-anakmu bisa terlelap tidur dalam dekapan sayapmu dalam keadaan perutnya terisi penuh karuniaNya yang masih kau bawa dalam kerongkonganmu....


mari kawan, mari, ikutilah cahaya kecilku, menuju dimana sarangmu....




catatan : 

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian. 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel