KIDUNG CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, semesta ini terlalu luas aku jelajahi namun aku nikmati setiap momentum yang diizinkan Allah, sepenuh hati. Dasarnya sederhana, Tuhan bikin apa saja bukan untuk main-main namun sebagai kesaksian cintaNya. Setelah bubaran acara Kenduri Cinta, aku meluncur ke titik momentum ini bersama sahabatku, Mas Pri Cepu. Selama tiga hari disini, aku ditunjukkan oleh Allah, di puncak derita Tuhan bermahkota.
Seorang Ibu terbaring menyongsong kekasihnya, dalam arti sakarotul maut, dikelilingi semua anak cucunya, dikelilingi sahabat-sahabat dekatnya, diiringi kidung cinta, bacaan-bacaan kalimah thayyibah. Setahuku, ini salah satu tanda-tanda khusnul khotimah. Lewat lidah kesaksian anaknya, Ibu ini hidupnya habis untuk melayani kehidupan, beliau seorang pensiunan Bank Indonesia. Seluruh ego beliau hancurkan, untuk merengkuh anak yatim dan membeayainya, tak sungkan beliau jualan makanan kecil di tempat kerjanya dulu, Bank Indonesia itu.
Kalau aku bahasakan kesibukan Ibu ini bagai tarian rembulan, cahaya Kanjeng Nabi saw memercik di kalbunya dan komando-komando beliau dilakukan dengan sepenuh cinta, sampai pada titik sakit yang dialaminya, pendarahan otak. Aku terbayang Sayyidina Ali lari dari Mekkah ke Medinah, setelah dipukuli orang-orang, karena menjadi tameng Kanjeng Nabi, sampai di depan beliau dia ambruk tersunggkur, bagai laron terbakar oleh cahaya lilin, telapak kaki Sayyidina Ali mengelupas penuh darah. Kanjeng Nabi saw, tak mampu berkata-kata, hanya menggesa--Ya Ali….dengan derai air mata.
Ibu ini berdarah-darah otaknya, memikirkan jejak-jejak kekasih Allah itu, dengan cara mencintai umatnya tanpa batas. Sampai pada saat sakaratul maut itu aku ditunjukkan lembaran-lembaran surat gadai perhiasannya, untuk menebus cinta itu. Dan aku ditunjukkan tempurung otaknya dilepas dokter, nampak bercak darah diatas kepalanya, ditutupi lebaran kain putih. Semua ikhtiar sudah maksimal, namun Ibu ini hatinya tetap menyala, tubuhnya tetap hangat, bibirnya hanya bergerak-gerak, kalau aku lihat melafalkan Allah, Allah, Allah….
Saat aku diminta bicara, aku sempatkan mencium pipinya dulu, lalu tangannya, dan aku bilang kepada anak-anak cucunya, atas kesalekhan Ibumu ini, sebelum dia meninggalkan kita semua, bolehkan aku meminta--Ibu, malam ini sebelum engkau kembali kepada kekasih, bolehkah aku mendaftar untuk kau akui sebagai anakmu…. aku kisahkan Ibu, kala Malaikat Izrail disuruh Allah mencabut nyawa Ibrahim, Nabi Ibrahim bilang masak Kekasih akan membunuh kekasih, lalu Allah lain waktu menyuruh Izrail datang ke Nabi Ibrahim disuruh bilang---wahai Ibrahim kekasih Allah, masak sih kekasih tidak ingin ketemu Kekasih? Ibrahim pun menyerah--kalau begitu ambillah nyawaku, sekarang!
Sejam berikutnya Ibu ini meninggal. Aku melihat batok kepalanya dipasang lagi, dijahit oleh dokter, tentu berdarah-darah. Aku ikut mandikan, ikut mengantarkan kepusara, dan yang adzan iqamatnya, menyambut pelayatnya. Ada salah satu saudaraku, ya anak Ibuku itu, dengan ketakdziman penuh cinta menyambut tamu-tamu pelayat Ibu yang begitu banyak, dicium tangan mereka semua, dengan tingkat ketundukan.
Dalam sambutannya saudaraku itu disamping mengucapkan terimakasih, dia menjerit---Mama,,, engkau kini tiada dalam pandangan mataku, tetapi engkau selalu hidup di hatiku, kini komadolah dibalik tirai dunia ini kepadaku,, Mama! Mama! Mama….aku siaaaap!....
Kawan-kawan, aku menyaksikan tangannya sambil hormat bagai kesiapan tentara, kalau ia panggil aku--kakakku, sepulang jamaah subuh dari masjid dia menggandeng tanganku sambil bilang--kakakku, ini semuuaaa kini milikmu….
Dialah Dick Doank yang dititipi Allah Kandang Jurang Doank yang dilahirkan Ibu Hajjah Kurnaini, ya Ibuku itu, juga Ibu semua anak-anak yang bernyanyi di Kandang Jurang Doank, kidung cinta….
Datanglah kawan kesana….
selamat datang….


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel