KEHILANGAN CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, aku merasakan pesan Kanjeng Nabi SAW yang sebelumnya didahului bahwa barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik, dan kalau tidak bisa maka diamlah. Kalimat suci ini bila direnungkan akan menggiring kita pada titik memilih diam bila tak mampu berbicara yang baik, bicara [atau menulis] yang pada ujungnya akan menawan hati manusia, menyenangkan orang lain itu. Ini pesan bagi kita yang terbiasa ngomong atau menulis, lacaklah dasar nawaitu itu agar kita tak akan kehilangan cinta. Hal yang paling harus disadarai adalah manusia itu ada komunitasnya, ada kelompoknya, ada gerombolannya, ada jamaahnya, ada keluarganya, ada, ada, ada.

Dalam setiap keberadaannya itu, jelas bahwa masing-masing punya reposisi yang punya peran dalam metabolisme semesta raya, dimana Allah meletakkan dan memproses sesuai irodahNya, yang pada ujungnya pasti tak akan ada yang salah itu, Maha Suci Dia, Maha Suci Dia, Maha Suci Dia, tak ada yang sia-sia itu. Aku sebenarnya merasa ngeri manakala melihat realitas, yang pada akhirnya akan menggiring pada kehilangan cinta itu. Misalnya aku bicara kasar sama istriku, diam-diam ada anakku yang menohokku: Ayah, jangan sakiti Ibu. Ketika aku mengatakan kasar sama anakku, setelahnya Istriku nylethuk: Ayah, jangan sakiti anakmu. Momen sedekat di rumah saja, bagiku menggores sedalam bahwa aku merasa kehilangan cinta atas tindakanku itu, yang ternyata membutuhkan waktu yang lama untuk kembali kepada suasana semula.

Andai aku disuruh memilih, maka bila tak bisa menetes di hati manusia dengan perasaan senang dan gembira, aku akan memilih diam, aku akan memilih diam, aku akan memilih diam. Terus aku lebarkan sendiri, bila aku mengatakan sesuatu atau menulis sesuatu atau bertindak sesuatu kepada sosok atau kelompok dengan meneteskan kebencian, maka aku merasa kehilangan cinta dari siapa pun yang mencintai mereka itu karena aku yakin sebejat penjahat pasti ada komunitasnya itu, jangan kan manusia hewan saja memiliki insting atau tabi'at membela kawannya itu. Sebaliknya manakala aku mencintai apa dan siapa [dengan cara bertutur dan bertidah baik], maka aku merasa memperoleh limpahan cinta dari apa dan siap itu, karena hal ini sangat menawan hati yang bagai menanam benih yang baik, pada ujungnya kita sendirilah yang akan mengetamnya itu.

Dalam pandangku, jangankan sebuah komunitas atau gerombolan, sosok seseorang saja bagiku bagai memandang samudra itu, dimana sebesar kejahatannya aku abaikan karena dalam sentuhan lembut tanganNya, di dadanya ada ribuan taman yang indah itu, walau mereka sendiri belum merasakannya. Dalam ranah samudra aku tak akan melihat hanya buihnya, namun akan aku selami pesona-pesona yang tak terhingga itu sampai pada titik menemukan mutiara-mutiaranya, dalam memandang buih pun masih saja akan aku prasangkai dalam dunia proses buih pun akan berujung menjadi butiran-butiran pasir yang menjadi penghias indah di pinggir pantai itu.

Sampai titik kulminasi ini ada rumusanku: terhadap diri aku beranikan mengedepankan aib-aibku, terhadap orang lain aku selalu cari kebaikan-kebaikannya itu. Pada dataran ini bila ada pihak lain yang menjelek-jelekkan diriku, maka amat jelas bahwa mereka membantu diriku dalam pencarian aibku sendiri itu, pasti aku berterimakasih, dalam simbolik "pingsut" bila ada yang mengedepankan jari telunjuknya [karena menuding-nuding sesuatuku] maka akan aku ajukan jempolku, sebaliknya bila ada yang mengedepankan jempolnya [karena memujiku], maka akan aku ajukan kelingkingku itu.

Kanjeng Nabi saw adalah sosok yang menunjukkan ketakhilangan cinta itu, dimana apa dan siapa beliau cintai, makanya cinta ikhlasnya pada umat manusia bagai cahaya suawarga dan siapa pun tak akan mampu mebalasnya, kecuali hanya dengan bersahaja, ya dengan bersahaja, bersahaja. Karena cinta yang tanpa batas dan tanpa tepi itulah yang menjadikan beliau dicintai Allah Yang Memiliki segalanya ini. Dalam kongklusi diriku ada wewangian dari beliau: cintailah apa dan siapa namun lebih cintalah kepada yang membikin apa dan siap itu, jangan benci apa dan siapa karena apa dan siapa ada pemiliknya itu....

Kawan-kawan, aku tak ingin kehilangan cinta darimu, dan cinta dari orang yang mencintaimu, aku tak akan membencimu karena aku sangat takut yang memilikimu akan membenciku, aku tak berani memperolok dirimu karena hal itu hakekatnya memperolok diriku, aku tak akan menghina dirimu karena aku sebenarnya lebih hina dari dirimu, aku tak akan menghakimimu karena aku sendiri dalam posisi dihakimi olehNya ini, aku tak akan membodoh-mbodohkan dirimu karena ternyata aku lebih bodoh dari dirimu, aku tak akan menajis-najiskan dirimu karena aku merasa lebih najis dari dirimu, aku tak akan melawanmu karena aku merasa sering gagal melawan diriku sendiri, aku, aku, aku, aku, aku, tak ingin kehilangan cintamu....

Huhuhuhuhuhuhuhu...


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.



Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel