KATA CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, kalau kita sadari bahwa tersinggung itu bagian dari tanda masih bercokolnya ego atau keberadaan diri. Hal ini menunjukkan bahwa sosok itu masih seseorang yang sadar akan identitas dirinya, lahirlah sikap kesal lalu melakukan perlawanan. Kalau itu dilakukan orang yang bertauhid, berarti menunjukkan keterpisahan dengan Tuhan. Bagi orang yang bertauhid (menyatu dengan Tuhan), maka ia akan pasrah diri kepadaNya dan berpuas diri dengan kehendak Tuhan. Karena akan ada efek negatifnya kalau tidak ridho, maka hakekatnya ia akan menjadi orang yang tidak percaya atas kemenyeluruhan kehendakNya itu.

Bagi yang menapaki jalan Tauhid (kesatuan), apa pun penderitaan yang menimpa, atau apapun kehinaan yang ia terima, dia akan menganggapnya sebagai kado kiriman Tuhan. Pada wilayah lahiriyah, nampak sebagai penderitaan, namun dalam ranah batiniyah penderitaan akan melahirkan keterjagaan hati, ingat selalu denganNya. Aku percaya diantara kita pernah bahkan sering mengalami perlakuan buruk, namun semakin kita punya daya tahan akan perlakuan itu, maka kita akan semakin tidak egois.

Aku pernah mengalami hal kecil yang bisa menjadi tanjakan dalam meruntuhkan ego itu. Ketika aku sedang berpidato di Pondok Pesantren Al-'Asy'ari Ceweng, tiba-tiba nyelonong sms di hapeku: Kiai Budi nDobol. Aku tahan rasa kesal dan amarahku, lalu aku jawab dengan singkat: maturnuwun. Muncul lagi sms: Maturnuwun-maturnuwun nDasmu. Aku nikmati kata kasar itu, aku balas lagi dengan kalimat kerendahan hati: Maturnuwun. Seketika muncul lagi sms susulan: Wong kakean doso, sesuk ra usah poso. Di atas keimananku, aku menanggung celaan itu, aku gembira dalam luka: maturnuwun.

Penghinaan dengan sms itu sampai sebanyak 18 buah, dan 18 buah juga aku menjawab tanpa emosi: maturnuwun. Selebihnya, aku rela sedemikian rupa, tidak ada daya aku melakukan perlawanan atas perlakuan buruk itu. Dan aku tidak mau memburu siapa yang mengirim pelecehan ini. Aku merasa kafirlah kalau sampai tidak ridlo atas kado dari Tuhan ini.

Menurutku, justru kiriman ini menjadi batu pijakan untuk semakin tangguh daya tahanku ketika menerima perlakuan sedemikian kasar. Aku olah dalam samudra cintaku kata-kata kasar itu: kalau kata-kata itu benar, berarti aku tambah bisa meningkatkan kebaikan lagi, namun ketika kata-kata itu tidak benar--biarlah keburukan itu berhenti kepada yang sms. Sampai sekarang aku tidak ingin tahu siapa pengirimnya, aku pun tidak mendongkol.

Pernah aku akan dilantik menjadi anggota DPR di kota semarang--sudah ukur jaz--beberapa hari sebelum pelantikan, ada team yang datang ke rumah, meminta terus terang biar si fulan yang dilantik, tanpa beban aku serahkan semuanya dengan sedemikian entheng. Pernah, aku berkunjung mengisi pengajian di sebuah kampung, ada seorang yang lapor kepada santriku bahwa tokoh di sini pernah bilang: Kiai Budi itu bisa apa! Padahal aku mendengar kata-kata itu, kemudian santri mendekatiku dengan membisiki bahwa tokoh yang ada disebelahku ini pernah mengatakan: Kiai Budi itu bisa apa! Dalam gelombang samudra cintaku, kata-kata penghinaan ini aku olah menjadi kata-kata cinta: Oh, santriku kamu salah dengar, yang aku dengar dari pelapor itu adalah: Kiai Budi ilmunya berkah bisa apa saja....

Kawan-kawan, inilah seni kehidupan yang akan mengikis keegoan dengan palatihan-pelatihan semacam itu. Aku ceritakan ini semua bukan untuk riya', tetapi untuk cermin kita semua, sekelas anjing saja ketika diusir oleh tuannya, anjing itu pergi, ketika dipanggil tuannya lagi, dia datang, tanpa dendam, tanpa kemarahan, tanpa dendam....


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel