KALAU CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, ada dua puluh jenis bahaya mulut atau lisan, seandainya orang menyadari effeknya yang teramat buruk dunia akhiratnya, maka orang akan memilih diam sebenarnya daripada tidak bisa omong yang baik. Semula dari seseorang lalu menjadi beberapa orang kemudian menjadi kelompok orang atau gerombolan orang--yang bahasanya arabnya Majlis atau Jama'ah atau apa sajalah namanya, itu kan hanya "aran" atau nama, tetapi effek mulut atau lisannya itu [apalagi dibantu alat radio, tv dan sarana yang lain] ternyata merambah sedemikian dahsyat buruknya, di kampung-kampung, di desa-desa dan kota-kota itu.

Tali-tali kebudayaan banyak yang putus, aku sebut tali kebudayaan karena wilayah yang diharam-haramkan atau dibid'ah-bid'ahkan atau ditakhayulkan atau dikhurofatkan ini [misalnya slametan, tahlilan, manaqiban, istighatsahan, mujahadahan, maulidan dan shalawatan dan sebagainya] adalah wilayah mu'amalah [interaksi sosial] yang telah diserahkan oleh Kanjeng Nabi saw [antum a'lamu biumuuriddunyakum] itu.

Kebudayaan itu seni hidup yang terbangun oleh interaksi sosial antar manusia, individu maupun kelompok sehingga negara pun tidak seharusnya berurusan dengan kebudayaan, karena memang kebudayaan itu representasi emansipasi manusia ke arah yang lebih survive, inovatif dan kreatif. Makanya intervensi gerombolan dengan mengatas namakan agama ini menjadi sangat primitif sikapnya, interaksi sosial yang memethik wewangian dari ajaran-ajaran menjadi bubar, jagong menjadi perdebatan yang tidak ahsan, hal ini mereka tidak menyadari efek dari mulutnya [jawa kasarnya: cangkeme].

Kalau mereka Nabi dan Rosul, sudah sepantasnya menuding-nuding dengan Cinta itu, kalau mereka itu keluarga Nabi aku sadari kesuciannya itu, kalau mereka sahabat Nabi aku akui adab sopan santunnya itu, kalau mereka tabi'in aku fahami ketawadlu'annya itu, kalau mereka tabi'ittabi'in aku acungkan jempol amaliyahnya itu, kalau mereka Imam-imam aku sukai karena kewira'iannya itu, kalau mereka wali-waliNya aku dekap karena pelayanan Cintanya itu, kalau, kalau, kalau, kalau, kalau, kalau.

Ternyata kalau ditelusuri mereka seperti aku: bodoh dalam banyak hal, seandainya tahu itupun sedikit dari sedikitnya hal atau percikan dari percikannya ilmu. Mustinya mereka lebih baik seperti anak-anak kecil yang besar ingin tahunya bukan memberikan fatwa karena masih banyak yang belum dikuasainya itu [biso rumongso bukan rumongso biso]. Dengan memberikan fatwa pada wilayah mu'amalah ini berarti kata-kata mereka melebihi kata-kata Kanjeng Nabi itu, teramat buruk bagai suara khimar itu--sabda beliau.

Lain soal kalau mereka menasehati dalam teritorial mahdhoh [ritual: shalat, puasa dan haji dan sebagainya] bila ada yang tak sesuai dengan contoh baku dari Kanjeng Nabi itu, itu pun bentuknya saling menasehati, kalau debat pun harus dengan cara yang baik, bukan memperolok-olok dan menghina-hina satu sama lain....

Kawan-kawan, kalau sikap yang tak bersahabat itu terus dilakukan pada hakekatnya di dadanya tak ada Cinta, yang ada hanya kuasa bagai Fir'aun itu, dimana pada ujungnya bukan Tuhan bermahkota di hatinya, tetapi egonyalah yang menjadi raja di hatinya, inilah bentuk berhala abstrak yang seandainya mereka sadari, bukan mereka jijik kepada orang lain tetapi mereka akan jijik dengan dirinya sendiri karena merasa benar sendiri, merasa suci sendiri namun hatinya penuh dengan berhala-berhala abstrak yang berbentuk sifat-sifat tercela itu, efek sikapnya akan nyata di dalam kehidupan: bikin onar, kekerabatan masyarakat hancur, peguyuban kebudayaan musnah.

Kalau manusia punya hati, ketahuilah masyarakat juga punya hati, dan hatinya masyarakat itu adalah kebudayaan sebagai seni hidup atau the art of living ini yang telah diserahkan oleh Kanjeng Nabi saw: kamu lebih tahu tentang urusan duniamu. Walau ini level keduniaan, bukankah semua ini tergantung niatnya itu. Beliau mengajarkan: Banyak amalan yang nampaknya amalan akkhirat tetapi dengan niat yang buruk ujungnya menjadi amalan duniawi semata, tetapi banyak amalan yang nampaknya amalan dunia tetapi dengn niat yang baik, maka akan menjadi amalan akhirat....

Punten, wallahua'lam bishshowab....

catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel