GILA CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, aku di kampung sering disetori orang gila, bagiku karena dunia seluas ini disana-sana orang tidak menerima, bagaimana aku berani menolak. Biasa kalau ada drop-dropan seperti ini, aku menyuruh santri untuk memotong rambutnya yang jembel, lalu memandikannya, mengganti pakaiannya, terakhir memberi makan minum kepadanya. Ternyata nurut juga, dan kelihatan keren.

Pada pengajian Ahad pagi, dia aku ajak untuk duduk di sisiku, dengan diam seribu bahasa tetapi sorot matanya menyiratkan pandangan yang tajam, memandang orang orang mengaji itu. Kadang-kadang bibirnya komat-kamit, sepertinya akan mengucapkan yang sama bershalawat dengan para jama'ah itu. Begitu giliran saya memberi sesuluh (nasehat), langsung saja aku mengatakan: Sedulur semua, pagi ini aku bahagia atas kesehatanmu semua ( jama'ah mengamini bersama), di sisiku ini pada umumnya orang mengatakan gila (sambil aku elus pungungnya), tetapi bagi Kanjeng Nabi saw orang semacam ini bukan gila, ia sedang mendapat musibah.

Bahkan ada yang disebut benar-benar gila oleh Kanjeng Nabi saw, yakni orang yang berjalan dengan sombong, yang memandang orang dengan pandangan yang merendahkan, yang membusungkan dada, berharap akan surga Tuhan sambil berbuat maksiat kepadaNya, yang kejelekannya membuat orang tidak aman dan kebaikannya tidak pernah diharapkan. Inilah orang gila yang sebenarnya. Adapun orang ini, dia hanya sedang mendapat musibah saja. Sedulur semua --aku lanjut bertutur--majnun itu bahasa arab yang maknanya orang gila, berasal dari akar kata jannat, artinya yang menutupi. Jadi majnun atau orang gila itu masih mempunyai akal, tetapi akalnya itu tidak dapat menerangi perilakunya. Akalnya sudah dikuasahi hawa nafsunya. Oleh sebab itulah Kanjeng Nabi saw menyebut orang takabur itu sebagai majnun (gila).

Biasanya orang gila semacam ini, dia sakit karena tidak sanggup menanggung derita. Keanehan perilakunya ini adalah bentuk pelarian dari kenyataan yang sangat-sangat sulit: kalah dalam pilihan kepemimpinan, putus pacar, dikhianati sahabat, kehilangan pekerjaan dan lain sebagainya. Berarti orang ini orang yang sedang remuk redam hatinya, kita harus mencintainya, apalagi Allah sendiri menyatakan bahwa: carilah Aku di tengah-tengah orang yang sedang hancur hatinya.

Orang gila semacam ini berarti kegilaan yang harus kita cintai, karena dia baru kena musibah itu, ladang pahala. Tetapi ada kegilaan yang juga harus kita jauhi, sebagaimana yang disebutkan Kanjeng Nabi saw tersebut, yakni takabur. Mereka tidak ingat asal kejadiannya, sehingga kedudukan, keturunan dan kekayaan termasuk kecerdasan menjadi tirai yang menyelubungi dirinya. Disamping itu saudara semua, takabur yang lain adalah meninggalkan kebenaran dan mengambil selain kebenaran.

Banyak orang yang memandang kehormatannya tidak sama dengan kehormatan dirinya, ini juga gila. Meremehkan kebenaran yang disampaikan orang dibawahnya juga wujud orang gila, termasuk meremehkan kebenaran yang disampaikan anak istri--itupun gila. Tidak mau mendengarkan pembicaraan kelompok lain karena fahamnya beda, bahkan menganggap sesat dan bid'ah, sementara dirinya yang paling benar, ini juga orang gila. Merasa diri orang besar atau merasa dekat dengan orang besar lalu ingin diperlakukan istimewa, termasuk dalam kekebalan hukum, inipun bentuk orang gila. Merasa lebih berilmu, lalu mengecam orang bodoh dengan sebutan yang meremehkan, ini juga warna lain dari gila. Saling memperolok antar orang alim dalam agama, mengkapling sorga bagi kelompoknya, membatalkan ibadah kelompok lain, membanggakan ibadah, membanggakan bacaan Qur'an, membanggakan haji dan umrahnya, membanggakan puasanya, membanggakan shalatnya, membanggakan kekayaannya, membanggakan keturunannya, membanggakan kekuasaannya, membanggakan pakaiannya, membanggakan jenggotnya, membanggakan tanda sujudnya, semua ini bentuk-bentuk orang gila….

Kawan-kawan, ternyata dibalik diamnya itu, orang yang aku sebut mendapat musibah itu bilang: aku dudu wong edan kok (aku bukan orang gila kok). Meledaklah tawa ria pada hadirin, sementara direlung hatiku ada suara sunyi: berarti kamu sendiri juga mengalami pasang surut kegilaan....aku satunya lagi, menyadari: yayaya!!


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel