FATIHAH CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, semua pernik dan atribut yang bersifat lahiriyah, tidak bisa dijadikan parameter dalam memandang perkara yang batiniyah. Secara lahiriyah Abu Thalib itu disebut kafir oleh banyak kalangan sejarah, termasuk pelajaran tareh itu. Tetapi siapa yang berani membantah pembelaan beliau habis-habisan kepada Kanjeng Nabi itu, sampai mengatakan: siapa yang berani-beraninya mengganggu Muhammad, hadapi aku dulu!

Pernah juga ada yang melapor Kanjeng Nabi kalau sehabis membunuh orang yang sebelumnya telah syahadat dulu, kemudian tetap ia bunuh juga orang yang telah bersyahadat itu dengan asumsi kepura-puraan untuk mencari selamat. Kemudian Kanjeng Nabi balik bertanya: apakah engkau telah membedah hatinya? Ada lagi saat seorang tawanan perang--seorang gadis--menceritakan kebaikan orang tuanya --yang masih kafir menurut mata lahiriyah--dan didengarkan oleh Kanjeng Nabi dengan kepercayaan penuh: Wahai Rasulullah, ayahku itu suka memulyakan tamu, membayarkan hutang orang, menjenguk yang sakit, suka membantu anak yatim, membantu orang fakir miskin, suka mendatangi undangan kawan saudara, memberi makan orang lapar, menyuguhi minum orang kehausan, menasehati mereka yang kesusahan, takziyah mereka yang keluarganya meninggal.

Setelah beliau menyimak dengan seksama lalu memerintahkan sahabat untuk membebaskan gadis itu seraya berkata: bebaskan anak ini, karena ayahnya itu besok di akhirat dekat dengan Allah. Belum lagi cerita tentang anak yang menuntun onta yang dinaiki Abu Bakar dan Kanjeng Nabi, ternyata dalam tanda petik--masih kafir. Tambah lagi perlakuan orang Toif yang demikian keji mengusir beliau, menurut kacamata batin beliau, direlakan kalau tidak hari ini ya besok. Ternyata benar, jendral perang beliau kebanyakan orang Toif yang dulu menganiaya itu.

Dari sinilah kita lihat kemegahan jiwa beliau terbukti dalam ranah perjalanan sejarah. Kejahatan bisa jadi kebaikan yang belum mendapat ruang atau tempat. Ini ada kisah yang sederhana sebagai sampel, yang melakukan adalah orang yang disebut Habib, dikenal orang keturunan Rosul, tetapi belum mencerminkan kemegahan beliau. Dua orang Habib silaturrahmi ke sorang Kiai, pas menjelang Isyaa', lalu diajak berjama'ah Kiai itu. Mustinya yang namanya sholat itu menghadap Allah dengan cara menghudzurkan hati kepadaNya. Ternyata habib ini begitu mendengar bacaan Fatihah Kiai--dalam batinnya--melihat dari sisi lahiriyahnya: tidak fasih, tidak tartil. Mustinya dalam ranah Cinta, kata itu tidak penting, yang penting hatinya hudzur kepadaNya dengan kegairahan menyala. Kesimpulan Habib-habib itu shalatnya Kiai tidak sah.

Tengah malam duo habib ini mau berwudhu di kolam Pesantren, ternyata ditemui seekor macan yang disangkanya akan menerkam. Duo habib ini membaca segala do'a, tetapi macan gak hilang dari pandangan matanya, dibacakan Fatihah malah serasa macan mengejarnya. Larilah duo habib ini,terus mengetuk pintu Kiai, orang sederhana dan tawadzuk ini menyarankan bacalah Fatihah sekali lagi, dia akan menghilang. Dengan keberanian atas anjuran Fatihah Kiai ini, duo habib ini mendekati tempat macaan, dan benar setelah Fatihah ijazah Kiai, macan menghilang.

Dalam hati duo habib ini menyadari bahwa Kiai ini membalikkan prasangka hatinya terhadap Fatihah yang dianggapnya tidak fasih, tidak tartil, sampai shalatnya tidak sah---dalam jama'ah Isyak' itu….

Kawan-kawan, kisah ini terjadi di Bangkalan jaman dulu, ada sebuah Pesantren yang diasuh oleh seorang Kiai wira'i, yang populer disebut mBah Kholil Bangkalan, gurunya K.H.Hasyim Asyari dan K.H.Ahmad Dahlan, pendiri organisasi besar Islam di negri ini, Nahdlotul Ulama' dan Muhammadiyah….

catatan :  

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2

  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.

Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan.


Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel