FANA CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, pada penglihatan hatiku, semua mengisyaratkan arus cinta yang tergerak oleh seruan Sang Ruh--orang bilang Tuhan itu, Allah. Apa yang aku sebut penglihatan--maaf--itupun bukan milikku, tetapi murni milik Dia. Dan apa yang aku bilang hati--sungguh--inipun bukan punyaku, namun nyata-nyata punya Dia. Kalau apa yang tersebut aku, sejujurnya itu berasal dari wilayah ego dan kepribadian temporal, yang betapa pun kecil dan lembut, bisa menjadi selubung rindu dalam merenungkan Tuhan, apa lagi memandangnNya.

Dalam keintiman dengan Dia, semua harus ditinggalkan--termasuk diriku--karena Dia tidak mau mendua, tetapi senantiasa ada ruang untuk berdua, bertiga, berempat, berlima, berenam dan seterusnya--tak terhigga. Sebenarnya, aku itu sendiri namun tidak menyendiri, ada Dia. Jadinya, aku mencari Aku, ketika pada akhirnya aku menemukan diriku sendiri, aku menyimpulkan bahwa diriku tidak ada, tidak ada.

Penggiringan akalku ini, merupakan tanjakan untuk masuk pada samudra Cinta, yang semata-mata aku harus mengamalkan dalam realitas hidup, yang bebas dari kepentingan pribadiku. Bentuknya adalah menekankan dan mendorong pelayanan kepada masyarakat--tanpa batas, toleransi dan kebaikan kepada sesama, dan melakukan panutan kemuliaan manusia, sebagaimana sejarah membuktikannya. Bagiku, kalau hanya untuk pembicaraan dan terkaan, memang akal menjadi panglimanya. Jadinya, tidak ada agama bagi yang tidak berakal--benar adanya. Ternyata model ini masih milik wilayah ego, buktinya bisa dilihat,tindakan praktisnya paling banter: cinta agama.

Cara ini memandang agama sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan, dan bukan untuk kehidupan, something to use but not to live. Orang berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Kepercayaan pada akal semata, berefek akan kosong dari keuntungan spiritual, ia akan berfungsi untuk membuat seseorang secara sosial dan secara moral: buruk. Karena seseorang mungkin dengan mudah menyelewengkan akalnya untuk membenarkan kepuasan diri dalam berbagai keburukan atau perilaku ofensif dengan mengklaim bahwa karena semua dari Dia, apapun boleh. Sikap ini bisa menggunakan agama untuk menunjang motif-motif lain: kebutuhan akan status, rasa aman, atau harga diri.

Jadi, kesetiaan akal bisa mencurigakan, karena ia sesungguhnya bisa menuntun kepada kebusukan moral yang merendahkan seseoran dari maqom puncak kemanusiaan. Buktinya orang yang beragama dengan cara ini, melaksanakan ajaran-ajaran dalam bentuk luar: shalat, puasa, sering pengajian, haji umroh berkali-kali dan sebagainya--tetapi tidak di dalam hatinya dan prilakunya. Sekali lagi cara beragama seperti ini tidak akan melahirkan masyarakat yang penuh kasih sayang dan cinta.

Sebaliknya, akan menetes prilaku yang bersumber dari kebencian, irihati, dan fitnah--yang abadi. Demikian resiko nyata yang harus diperoleh kalau doktrin itu diajarkan dan dipelajari oleh semata akal pikiran, yang diajarkan di podium akademik saja. Memang upaya ini sungguh lumayan, karena bisa meningkatkan kesadaran intelektual seseorang.....

Kawan-kawan, ayo masuklah ke samudra Cinta, melibatkan sebuah jalan praktis di mana orang melihat segala sesuatu sebagai satu, karena difokuskan tidak lain dalam satu arah. Keadaan seperti ini merupakan praktek yang didasarkan pada pengalaman dan perwujudan langsung, bisa wahyu atau penglihatan batin--orang bilang makrifat itu.

Model ini membebaskan seseorang dari kesadaran diri dan membawa dia menuju kehidupan dalam Tuhan. Singkatnya, biarkan Tuhan berbicara melalui diri manusia. Praktekkan apa saja yang bertiup di dzomir manusia, yang diyakini tiupan nafas Tuhan. Bila demikian, agama hadir akan bisa menunjang kesehatan jiwa dan kedamaian masyarakat....

catatan :  

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2

  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.

Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan.


Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel