EVOLUSI CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, secara sederhana lihatlah ulat menjadi kepompong lalu menjadi kupu-kupu terbang dengan sayap-sayap nan indah, orang bilang metamorfosis. Ada orang yang tadinya jahat, belakangan menjadi orang shaleh, dengan menebar kebajikan nan indah. Perubahan ini merupakan anugerah dari Dia, Yang Maha Mengubah. Debu kejadianmu, gosoklah dengan peristiwa maka engkau akan menjadi intan permata.

Jadi peristiwa dalam ranah siang malam, di langit apa di bumi itu semua merupakan proses berubah. Keyakinan atas keberadaan hidup membawa kita untuk memahami bahwa Dia tidak akan menelantarkan hambaNya. Setiap proses merupakan fakta bahwa Dia mengevolusikan melalui jutaan bentuk, setiap bentuk akan lebih baik daripada sebelumnya. Kecemasan banyak orang menurutku tidak perlu, karena hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak percaya kepada Dia Yang Maha Mengubah.

Dunia ini yang tetap adalah perubahan. Evolusi diri jelas harus dilakukan, sehingga Kanjeng Nabi bersabda bahwa barang siapa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya. Dengan demikian ada evolusi kongkrit dan abstrak. Bagi evolusi kongkrit bisa kita saksikan dengan indera apa saja yang menyangkut perubahan ini, tergelar di jantera alam semesta. Namun perubahan yang abstrak, sampai pada titik menemukan Dia sebagai identitas yang sebenarnya.

Tuhan adalah kesadaran Alam semesta yang menghidupkan setiap wujud di dalamnya. Hanya ada satu Tuhan. Segala keterpisahan adalah suatu ilusi. Setiap perbuatan kita adalah arus menuju samudra. Untuk sampai kesana orang harus menempuh jalur evolusi ini secara spiritual, dengan konsep menyerah, bentuk evolusi ini adalah keterlarutan atas keterpisahan dalam samudra CintaNya. Setelah menyerah, orang akan memperoleh pencerahan sebagaimana yang dialami oleh orang arif itu. Pencerahan ini bukan lah tujuan akhir dari perubahan yang ada, namun proses evolusi yang konstan, evolusi cinta. Pertumbuhan jiwa akan nampak berdasar atas penyesapan akan ajaran-ajaran Dia.
Sehubungan dengan Tuhan itu sendiri tidak bisa dimisalkan sesuatu, maka setelah menyerah, kemudian melarut dari keterpisahan, tataran berikutnya adalah ketiadaaan yang di mata kebudayaan bentuknya adalah kematian. Dengan demikian perjalanan menuju Dia yang tak bertepi ini membawa kepada pemahaman evolusi cinta yang tak bertepi juga. Cuma kematian kongkrit ya lepasnya Ruh itu dari jasad, sementara kematian abstrak adalah lenyapkan ego supaya Dia bermahkota di dada.

Maka dari sinilah Kanjeng Nabi mengatakan: matilah sebelum kamu mati. Sementara Rumi mengatakan: menemui Dia tidak musti melewati ajal. Kalau Iqbal memetaforkan evolusi cinta ini dengan perjalanan isro' mi'raj sehingga Iqbal mengarang buku Javid Namah (Kitab Keabadian), sedangkan dalam Hadis Qudsi Tuhan sendiri menyatakan ada 7 proses: Jasad, shudur, fuad, kalbu, tsaqaf, lubb dan sirr. Kalau ternyata dalam sejarah ada tragedi martir dari pengungkap rahasia ini, tentu menunjukkan fakta bahwa mereka tidak kuat sebagaimana Nabi….

Kawan-kawan, untuk bisa sampai pada evolusi cinta ini Allah menurunkan kasih sayangNya lewat Kanjeng Nabi sebagai Imam, agar tidak terulang lagi tragedi para pencari yang tak bertepi ini. Rumi dalam hal ini menyatakan Kanjeng Nabi maju melalui banyak keadaan kesadaran. Setiap kali beliau mencapai tataran pemahaman baru, beliau minta ampun atas ketidaktahuan sebelumnya. Hanya Nabi yang memiliki stamina untuk merenungkan Tuhan dengan semua aspekNya sekaligus. Beliau menolak untuk tetap terperangkap dalam satu tataran pemahaman. Sementara ada yang lain lagi, Abdullah Azhari menyatakan: aku sebenarnya memiliki tataran seperti Bayazid dan Mansur, tetapi aku rahasiakan, hanya untuk diriku….

catatan :  

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2

  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.

Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan.


Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel