DOA CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, ketika aku berdo'a untukmu semua terasa olehku, aku meniti puncak seluruh ibadahku, karena Kanjeng Nabi menyatakan seperti itu: do'a itu inti atau otaknya ibadah. Dalam ranah Tauhid bisa dilihat peristiwa Ibrahim tidak mau berdo'a, beliau menyatakan: Dia tahu akan diriku. Tetapi Kanjeng Nabi sendiri itu orang yang abadi dalam permohonan kepadaNya (langgeng penyuwune dateng Gusti).

Aku menyadari, sesuatu telah tertulis dalam takdir abadi, namun dalam hubungan kekasih dengan Kekasih, do'a melahirkan kemesraan kepadaNya yang luar biasa, aku sedemikian manja dalam keintiman itu. Aku merasa dalam do'a itu bagian dari dambaan perjumpaan, dibalik kelelahan larinya hatiku kepadaNya. Aku pandang Dia dengan mata hatiku, bahagia sekali: mengejar, mengenal, melihat dan mendekat kepadaNYa.

Aku pada posisi itu tidak melihat siapapun, kecuali Dia. Pada detik yang sama, sepertinya Dia menunjukkan semua milikNya, seraya memerintahkan: sapalah semuanya tidak sekedar kata tetapi dengan sepenuh hati melayani. Do'a dalam ranah kongkrit bisa berwujud krenteg atau bahasa, namun dalam ranah abstrak: bergelepotan dengan pelayanan--karena Dia itu. Do'a seperti ini aku pahami dengan resiko: hilangnya diriku, aku tidak ada.

Ya, kalau boleh aku menjerit, memekik: aku tidak ada!!! Kesadaran ini menjadikan tenaga tak bertepi, melintasi ruang dan waktu. Begitu melihat semua milikNya, ada dua suasana: suka dan duka. Bagi yang dirundung suka dalam bentuk apa saja aku ikut merasakan bahagia, aku tersenyum sampai meneteskan air mata--kebahagiaan tiada tara. Namun bagi yang sedang--malah kadang2--dirundung duka cita, aku larut dalam tangis mereka dengan merasa tidak tega, yang aku usahakan bagimana cara membebaskan derita itu.

Sekiranya aku dapat mati demi semua umat manusia sehinga aku tidak perlu lagi menunggu kematian. Sekiranya saja aku dapat membasuh semua dosa manusia, sehinga di Hari Pembalasan mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban. Sekiranya saja aku dapat menanggung penderitaan hidup semua manusia di dunia dan di akhirat nanti, sehingga mereka bahagia dan diselamatkan dari api neraka. Inilah jeritanku ketika aku berdo'a: sekiranya aku melimpahkan kepada hatiku, semua derita dan duka yang membebani hati-hati manusia, agar mereka terlepas dari kesedihan.

Aku sebenarnya hanya menguasahi sedikit dari sedikitnya ilmu, namun aku butuh untuk mengalami semua ini. Sehingga--ketahuilah kawan--dalam keintiman denganNya dalam alam benda ini tidak dapat aku usung, kecuali pada apapun aku benturkan diriku kepada pelayanan ini--menjadi Cahaya. Aku sambung bagi siapa saja yang memutuskan dengan diriku, aku sapa siapa saja yang mendiamkanku, aku maafkan kesalahan siapa saja sebelum meminta maaf kepadaku, aku singkirkan duri supaya tidak mengenahi kaki saudara, aku datangi walau mereka tidak mengundangnya, aku jenguk sakit mereka, aku, aku, aku, aku, aku.

Aku berikan apa saja yang paling aku senangi kepada mereka, karena mereka dalam hidupku bukan orang lain, mereka semua milikNya, milikNya, milikNya. Tidak ada yang hilang dalam hidupku, karena aku tidak punya apa-apa, apalagi hakekatnya aku tidak ada itu. Kegigihanku ini toh hanya sementara waktu, ya hanya sementara waktu, sebagai obat rindu kawan, aku butuh kamu semua sebagai raja dalam hatiku, kesementaraan ini hanya lintasan pelayanan, kalau kawan semua tersenyum--aku lihat Dia tersenyum.

Disinilah aku pada ujungnya menjadi pengemis profesianal, aku mulai meminta-minta kepada Dia dengan do'a-do'a seperti itu, kata dan tindakan nyata. Do'a tidak lagi lidah dan hati, tetapi aku berusaha seluruh tubuh ini menjadi ungkapan do'a, kalau kita mau rukun bersama dengan tindakan kemuliaan kemanusiaan dan tidak tersekat oleh kepentingan ego, maka semesta ini menjadi ungkapan do'a melangit tak bertepi itu. Kalau pas aku tidak punya apa-apa, akan aku jual serbanku, akan aku jual jubahku, akan aku hutangkan dengan tanggunganku, akan aku gadaikan gelang kalung istriku….

Kawan-kawan, ada yang bertanya kepadaku--termasuk anak istriku: apa maksudmu dengan semuanya ini? Aku menjawab dengan berbisik ditelinga mereka: maafkan aku, lihatlah aku, jangan tanyakan tentangku….


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel