DEPAK CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, dalam menyeru kepada Tuhan, aku selalu menekankan untuk tidak memandang diriku. Siapa pun yang mengarah kepada ketergantungan kepadaku--apalagi sampai taraf penyembahan--termasuk kepada orang lain, pasti aku akan lari menghindar--soalnya aku sendiri merasa tidak ada. Aku matikan diriku sebelum kematian yang ditakuti banyak orang itu.

Hal ini sudah ada pelatihannya, yakni manakala aku tidur itu. Kanjeng Nabi mengabarkan: Tidur itu saudaranya mati. Kenyataannya demikian, seluruh komponen jasadiyah mati: mata, telinga, hidung dan sebagainya tidak berfungsi. Pada sisi yang lain beliau juga menyatakan: Matilah kamu sebelum mati. Tetapi dalam tidur Ruh itu wujud, dengan bukti bisa memandang peristiwa dalam mimpi.

Membebaskan diri dalam penyembahan-penyembahan selain Dia itu amat sangat sulitnya, yang paling mudah adalah menarik orang lain kepada diri itu demi tujuan pribadi atau pamer keajaiban dalam rangka--maaf--menambah penghasilan penghidupan untuk diri mereka sendiri--termasuk bisa dikenal dunia itu.

Pada posisi ini, aku merelakan kecaman, hinaan, olok-olokan--walau aku tidak melihat--mereka menyilangkan telunjuk di dahinya (yang menghitam karena sujud): Kiai Budi itu edan (gila), termasuk sms terakhir pada saat aku mengisi pengajian di Ceweng Bojonegoro, kiai Budi itu kiai Celeng. Mereka--yang aku rengkuh sebagai saudara dalam ranah Tauhid--mengatakan prilakuku bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Aku menikmati musik, karena menurutnya merangsang nafsu. Aku sering bersama-sama orang yang non Muslim--misalnya mendatangi acara kebersamaan di gereja Pringgading itu. Aku dikira merusak citra Kiai, bahkan citra Islam.

Semua dinilai mendakwahkan keburukan, alasannya setiap Muslim harus menjadi saksi dihadapan manusia tentang kebenaran Islam. Aku rela atas semuanya ini, karena apa yang mereka katakan adalah benar adanya--menurut mata mereka. Aku melihatnya agak lain, pada saat orang nampak kelebihannya dalam tataran tertentu, orang lalu memuliakannya, menjadikan panutannya, dan menyebarkan kemuliaannya--dikenal dunia, menjadi bintang.

Ternyata orang semacam ini bisa lupa kepada aibnya sendiri. Ancaman terbesar muncul dalam dirinya, hidupnya akan terpengaruh oleh penilaian banyak orang itu. Kerelaanku dihina, diremehkan, diperolok itu sederhana: aku merasa banyak kekurangan yang ada di dalam diriku ini. Orang banyak yang mengecam semacam itu dalam ranah yang ia lihat secara lahir, sementara aku sendiri mengecam apa yang aku ketahui di batin aku sendiri. Sekarang, hidupku tidak sendiri: ada istri, ada anak-anak, termasuk anak-anak santri, ada saudara-saudara, ada teman-teman semua.

Langkah awalku untuk mengucurkan misteri ini, tentu kepada anak-anakku. Rumah Cinta ini bisa disebut lintasan mereka semua--termasuk aku--dimana mereka aku latih sejak dini hatinya tercurah kepada Dia semata. Istilah kasarnya anak-anakku--maafkan aku Nak--aku depak dengan depak Cinta. Sejak anakku masih usia TK, empat sekaligus aku pesantrenkan di Al-Husein Krakitan Magelang, selama tiga tahun. Pernah aku dan istriku menjenguk dibalik jeruji asrama mereka, aku lihat mereka berjalan sambil sarungan dengan terseok, aku bersalaman dengan mereka dibalik jeruji itu, aku lihat sekujur tubuh mereka kena gudik (borok), mereka tetap tersenyum semuanya, air mataku meleleh bahagia: kuatkah nak engkau di sini? Mereka mengangguk sambil tersenyum.

Selepas di Krakitan aku depak lagi ke Al-Asy'ari Ceweng itu sebanyak lima sekaligus, ada yang aku depak ke pesantren Kudus dua anak. Saat liburan, aku pernah didamprat sama anaku, sambil dia menangis meraung-raung karena aku tidak membangunkannya untuk sembahyang malam: maafkan aku Nak--aku merajuk--maafkan aku. Sampai pada istriku, kalau memang dia merasakan ketidak relaan dalam perjalanan hidupku, aku persilahkan untuk menggugat, atau mendepak diriku atas ketidakberesan hidupku….

Kawan-kawan, istriku lantas memegang tanganku seraya mengatakan: tidak mas, aku ikuti perjalanan bersama ini, menuju Allah bersamamu dan anak-anak ini. Lagi-lagi aku menagis bahagia seraya mengecup bibirnya, serasa mengecup bibirNya….



catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel