CNKK CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, hari ini ulang tahun orang sederhana di mataku, tetapi termasuk designer gerakan hidupku, Cak Nun dengan Kiai Kanjengnya itu, umurnya kini 57 tahun. Tulisan ini, walau beliau tidak sempat membacanya, bagian dari ucapan selamat ulang tahun, dariku sekeluarga dan semua teman-teman.

Siapa Cak Nun itu? Barangkali ia adalah orang pertama yang tertawa keras atas kemustahilan menjawab pertanyaan ini. Setahuku, Emha menghabiskan hidupnya mencari Emha. Ketika pada ujungnya ia menemukan dirinya sendiri, ia menyimpulkan bahwa dirinya tidak ada. Cak Nun adalah sebuah teka-teki paradoksal. Ia sebenarnya adalah guru agama atau Kiai atau Syeh, yang mengajarkan bahwa seluruh filsafat spiritual tidaklah memadahi. Ia adalah penyair besar di negri ini, yang menganggap puisi sebagai hiburan yang boleh jadi membuang-buang waktu.

Di tengah ia bicara ajaran agama, bisa saja dengan kecakapannya senang dengan seloroh dan humor sehari-hari. Ia pantangan minuman keras tetapi antusias menulis tentang kemabukan. Ia adalah orang bijak yang dimuliakan dan sering menganggap remeh dirinya. Ia boleh jadi manusia fana, yang hadir semeleh di bumi. Cak Nun lahir 27 Mei 1953, sepuluh tahun dan sepuluh hari jarak dariku yang lahir 17 Mei 1963. Ia lahir di Menturo Jombang, aku lahir di Baturagung Gubug Grobogan.

Pada usia dini, ia dan seorang Ayah telah dididik keluarganya secara relegius, lahir dari seorang Ibu yang penuh cinta dan seorang Ayah yang taat. Selagi kanak-kanak, konon Cak Nun telah bersahabat dengan Gus Ud, yang ia sebut Kiai Sudrun itu dalam banyak tulisannya. Konon lagi tenggorokannya (telak) pernah diludahi (diidoni) oleh Kiai Sudrun itu. Pengalaman agamawi bersama Gus Ud ini membentuk penampilan dirinya yang unik ini.

Ketika dewasa, selepas keluar dari Pesantren Gontor, berada di Jogja, dunianya berubah drastis tanpa diduga ketemu dengan penyair dan musafir liar Umbu Landu Paranggi. Cak Nun itu bersifat tenang, taat, terhormat, dan berpengaruh. Sementara Umbu itu bersifat kasar, blak-blakan, eksentrik dan menggebu-gebu dalam pengabdian. Akan tetapi ketika kedua orang ini bertemu, mereka mengenali diri masing-masing ada obsesi pada Misteri Kehidupan yang besar. Mereka sahabat jiwa yang sama-sama memiliki antusiasme luhur untuk mencari kebenaran. Apapun hubungan mereka adalah cermin cahaya satu sama lain. Sekarang Umbu itu hilang entah kemana, mungkin tugasnya telah selesai dan Cak Nun meneruskan perjalalan spiritualnya sendiri.

Lihatlah aliran deras syair tak terkendali muluncur dari hatinya. Lihatlah berapa puisi yang menjadi buku, sudah banyak diterbitkan. Lihatlah berapa buku yang berbicara dengan berbagai sudut pandang telah diterbitkan. Pola hubungan dengan Cak Nun ini lain dengan pola tradisional keberagamaan yang konservatif, melainkan tersapu dalam angin puting beliung pelayanan kemasyarakatan. Dari kampung ke kampung, dari Desa ke Desa, dari Kota ke Kota, dari Pulau ke Pulau, dari Negara ke Negara. Bersama musik Kiai Kanjeng yang orkrestatif itu. Seluruh perjalanannya menjadi sebuah hubungan asmara dengan Kekasihnya, Tuhan itu.

Kini usianya 57 tahun, hatiku bergetar ketika di Gambang Syafaat Semarang, sehabis menyapa Lumpur di Sidoarjo di tengah pertemuan ia bilang pelan: sekarang umurku 56 tahun, kalau aku kejatah seperti Kanjeng Nabi saw, berarti aku kumpul denganmu semua tinggal 7 tahun lagi, aku yo perlu toto-toto rek, namun atas kebersamaanmu semua, malam ini aku bahagia. Gambang Syafaat paling sering aku tinggalkan, tetapi paling mandiri di antara jaringan yang ada.

Setahuku Cak Nun menyapa secara kolektif di beberapa titik: Kenduri Cinta Jakarta, Gambang Syafaat Semarang, Mocopat Syafaat Jogja, Padang mBulan Jombang, Obor Ilahi Malang, Bang-Bang Wetan Surabaya, Tali Kasih Bandung dan masih bertebaran yang aku tidak lengkap mengetahui. Acaranya dari sore hingga dini hari, sering sampai subuh. Kajiannya meluas apa saja untuk saling berbagi solusi kehidupan, di selingi musik apa saja, termasuk kelompok yang tak terpisahkan dengannya, Kiai Kanjeng itu. Semua mengalir bagi sungai yang bisa menarik sebuah samudra di belakangnya.

Aku lebih merasakan kedalamannya, itu bukan kata dan tulisannya, tetapi lewat sorot matanya itu. Karena apa saja yang ia tawarkan adalah wawasan sangat luhur yang menjadi sumber asalnya. Walau kata-kata itu nampak menghibur, bagiku aku raih makna yang tersembunyi, yang kemudian menjadi acuan kearifan hidup. Aku kenal semua saudaranya yang berjumlah 14 orang, genap 15 dengannya. Kalau aku ketemu dia, pasti aku tanyakan Ibunya, Ibu Halimah, yang melahirkannya saat sedang tadarrus Al-Qur'an itu.

Dengan gerakan Maiyah itu, aku rasakan ia bicara dengan suara keabadian, menawarkan kearifan abadi. Buku-buku dia aku baca beulang-ulang, pertama musti masuk ke kepalaku, tapi ujungnya masuk dalam inti batinku. Sepertinya aku digiring dalam pelayaran pencarian mistis yang semuanya menakjubkan. Maiyah ini bagian dari proses panjang hidupnya, dulu orang diperkenalkan pada pemikiran tentang pencarian spiritual, semua diilahiyahkan, terus orang diajak untuk merayakan puncak-puncak pertemuan dengan Sang Kekasih, Tuhan itu. Tentu manifestasi pertemuan itu supaya tidak nyamut-nyamut, maka dihadirkan ke ranah kebudayaan, supaya hati tidak sebatas milik kesalehan personal tetapi, kesalehan komunal: bisa keluarga, bisa organisasi apa saja, bisa negara, bisa bola kecil dunia ini, di tengah samudra raya alam.

Konsep Maiyah, menurutku adalah melakukan perjalanan spiritual, memasuki Misteri Kehidupan dan Kematian, menyatu dengan Tuhan. Akan tetapi, siapa atau apakah Tuhan itu? Pemahaman dia Tuhan bukan sebuah prinsip abstrak. Tuhan adalah Sahabat Tercintanya. Tuhan adalah kekuatan Cinta di dalam kalbu manusia. Tuhan adalah identitas kita yang sebenarnya. Tuhan adalah Kesadaran Alam Semesta yang menghidupkan dan Kesadaran setiap wujud di dalamnya. Keragaman ini adalah manifestasi dari arus cinta dari Lautan yang Satu itu. Semua harus bersama menuju Dia, bergandengan tangan menjelmakan Cinta.

Boleh aku bahasakan bagiku Maiyah itu: aku mencari Aku, mengkitakan aku. Cak Nun menebar keberadaan adalah sebuah Kesatuan yang benar-benar kuat yang mengungkapkan dirinya sebagai kemajemukan yang terdiri dari bagian-bagian tidak terbatas. Dengan Maiyah, Cak Nun tidak memberikan pelajaran yang teratur, supaya tidak terjebak pada satu tataran pemahaman saja. Cak Nun ingin agar kita merasakan betapa besar gambar yang sebenarnya. Kebenaran bersifat ironis secara menyenangkan. Selamat ultah ke 57 Cak, dari kedalaman hatiku, walau engkau aku pahami bagai Ibrahim mau menjeburkan ke api: Allah tahu akan nasibmu....

Aku tetap memanjatkan do'a kepadamu Cak Nun dan Kiai Kanjeng: semoga panjang umur rajin ibadah, diparingi rejeki barokah, anak-anak cucu saleh salehah, kalau tiba saatnya Kekasih memanggil dalam posisi lulus sebagai manusia, khusnul khotimah, takdzimku kepada Cak Nun dan Kiai Kanjeng….

Amin2 ya Rabbal'alamin....

catatan :    

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung 
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. 
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan 
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga 
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian 
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah 
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang 
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap 
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang 
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik 
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari 
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara 
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil 
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar 
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak 
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu 
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2
 
  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang 
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari 
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug 
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono 
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah 
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. 
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan 
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono 
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) 
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. 

Budi Harjono 
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya 
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa 
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya 
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam 
pelajaran sekolah. 
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar 
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam 
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga 
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam 
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat 
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga 
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi 
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan 
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; 
organisasi sosial-pendidikan. 


Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono 
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah 
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau 
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. 
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono 
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya 
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa 
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya 
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam 
pelajaran sekolah. 

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar 
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam 
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga 
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam 
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat 
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga 
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi 
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan 
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; 
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah 
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi 
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan 
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah 
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan 
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. 
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang 
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) 
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui 
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel