CERMIN CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, prasangka baik itu landasannya, lalu mata kepala dan mata hati akan memandang semua ciptaan ini penuh pesona, dariNya itu. Mozaik semesta raya tentu ada dinamika, lika liku, pasang surut--mulur mungkret itu, belum susah senang malah terkadang kesedihan yang biasanya orang menyebut tragedi.

Musim alam mengajarkan akan adanya eksotika suasana dengan landasan bahwa perubahan itu sebagai "ketetapan", jadi hidup itu yang "tetap" adalah berubah ini. Makanya orang harus tenang setenang-tenangnya, bukan karena hidup tanpa masalah, namun kecerdasan mengatasi masalah itulah kuncinya ketenangan, lalu silahkan menatap musim-musim jiwa.

Misalnya orang merasa kehilangan karena disebabkan merasa memiliki, padahal hakekatnya manusia tidak punya apa-apa, bahkan ia hakekatnya: tidak ada, yang ada hanya Dia, Dia, Dia. Orang merasa berat akan tanggung jawab, pekerjaan menumpuk dengan berbagai jenis dan jumlah, yang semuanya ini biasa aku sebut goresan hidup. Namun bila kesadaran akan semua ini adalah wilayahNya, lalu hati pun bagai matahari memandang lilin-lilin itu, hatipun bagai samudra memandang sungai-sungai itu, dan manusia akan menemukan kemegahan dalam proses perjuangannya. Andai goresan ini berbenuk tragedi, sebenarnya itu cara Dia menyibakkan tirai-tirai hidup bagai Dia menyibakkan kelopak bunga teratai yang ternyata setelah terbuka bunga itu nampak bermahkotakan seribu bunga itu, indah kan?

Demikian juga manakala orang memandang semua ciptaan ini, dimana dunia ini bagai sebuah gunung, soal baik dan tidaknya tergantung suara hati manusia memekik itu. Dalam banyak kasus aku sering menerima keluhan-keluhan soal persuami istrian, dimana pasangan itu sebenarnya musti saling bercermin, ternyata banyak yang melakukan perjalanan cintanya dengan saling menuntut itu, bukan saling memberi dan menerima.

Maka dengan asumsi dasar di atas, mari disyukuri karunia yang ada ini, karena kadang perjodohan ini bukan kehendak kita tapi kehendakNya, makanya sebagian tanda-tanda kekuasaanNya adalah perjodohan itu, bagi yang mau berfikir. Bukankah dari sudut pandang ini, suami atau istri itu amanat: Dia titip kepadamu, Dia titip kepadamu, Dia titip kepadamu. Apalagi yang perjodohan itu bagian dari kehendaknya sendiri, maka hal itu menyangkut tanggung jawab akan cintanya, jangan khawatir: siapapun yang berjalan dalam cinta maka ia akan selalu mendapat pertolongan, karena cinta itu percikan dari tetesan samudra cintaNya juga.

Aku pernah dikirimi foto sepasang suami istri, dimana suaminya sangat nggantheng dan gagah, sementara istrinya [amit sewu] buntung tak punya kaki, namun mereka begitu mesra dengan kedua anak mereka, dan tentu membayar dengan segala kerepotannya, serta suami itu tak malu menggandeng istrinya yang berladaskan papan beroda, atau menggendongnya kala menuju kemana-mana itu. Aku yakin suami itu memahami bahwa ia menjadi dutaNya dalam cinta yang bisa menjadi energi tak terhingga dalam pelayanan kepada istrinya dengan kesetiaan sepenuhnya. Aku melihat istrinya bisa tersenyum indah--menurutku--bagai senyum bidadari itu, indah, indah, indah.

Bukankah dimataNya, lelaki semacam itu menjadi saksi kasih sayangNya sementara perempuan itu menjadi saksi atas cintaNya juga, mereka saling bercermin--cermin cinta.

Berbeda dengan sang Sultan yang memandang Layla hanya sebatas barang dan tubuhnya, sementara ia tak melihat Dia yang sangat cantik, tersembunyi di hati Layla itu sehingga Layla menjadi merana di istana, bagai Ledy Diana itu yang merasa kerajaan bagai penjara bagi dia. Malah si Qois, walau bukan suaminya melihat dengan hatinya akan kecantikan Layla, sampai dia tergila-gila. Dalam kegilaan cintanya: ia tahan tidur, tahan lapar, tahan kehujanan dan kepanasan sampai goresan hidup apapun musnah di altar cintanya pada Layla. Sampai sajak-sajaknya bila didendangkan di waktu malam yang diterangi cahaya rembulan, bisa masuk dalam mimpi-mimpi Layla, dan Layla tahu itu, ada seseorang yang mencintai hatinya bukan tubuhnya.

Bahkan saking kangennya,Qois [si majnun itu] begitu ingin menatap wajah yang sangat amat dicintainya, biar tenteram hatinya, maka ia menunggu di pintu gerbang rumah Sultan itu sampai mengesampingkan waktu sudah berapa lama dia disitu. Ternyata saat pintu gerbang terbuka yang keluar bukan Layla, tetapi seekor anjing kurap, maka pada saat itu ia menggesa dengan bendendang puisi ria: Wahai Layla,betapa lama aku menunggu ingin menatap wajahmu, walau sekejab saja, aku sudah puas dan terima, namun yang keluar dari rumahmu ternyata anjing kurap ini, walau seburuk apapun anjing ini toh keluar dari rumahmu, maka akan aku cium dia, barangkali anjing ini pernah kau sentuh dengan tangan lembutmu.....

Kawan-kawan, metafor ini cukup kiranya menyadarkan kita akan keelokan sentuhan tanganNya, yang berwujud suami atau istri itu, sayangilah dia, cintailah dia, rengkuhlah dia, dekaplah dia biar hangat tubuh dan hatinya, biar tersenyum dia, maka Dia akan tersenyum kepadamu. Jangan kecewa, kalau dia kurang pandai memasak mungkin dia pandai merayumu, kalau dia kurang bisa mengurus apa-apa mungkin bisa kau pandang kecantikannya, kalau [punten] dia kurang cantik mungkin bisa kau rasakan dahsyat apanya [hahaha], kalau dia kurang sayang mungkin bisa kau buktikan bahwa dia sangat subur [alias metengan itu] sehingga permata hatimu banyak itu, kalau dia kurang apanya tetapi ia sangat rajin dan setia dan carilah sendiri kebaikannya sampai hilang keburukannya.

Dari sinilah Kanjeng Nabi berpesan: Tidak pantas bagi lelaki yang beriman untuk meremehkan wanita yang beriman. Bila ia tidak menyukai satu perangai darinya, pasti ia puas dengan perangainya yang lain....

Selamat Berbahagia kawan!!!


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel