BURDAH CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, ketika kata burdah aku sebutkan, mengingatkan kepada panjeneng semua,akan maestro pecinta, Imam Busyiri yang mengarang kidung Cinta, yang beliau sebut BURDAH. Nama burdah ini di jadikan judul kidung Cintanya, karena Imam Busyiri saat sakit lumpuh, beliau di temui Rasulullah SAW dalam mimpinya dan kanjeng nabi menghadiainya burdah (semacem jubah separo badan), seketika terjaga Imam Busyiri bisa sembuh penyakit lumpuhnya.
Di balik kisah ini ada seorang perindu sejati kepada kanjeng Nabi SAW, sedetikpun hatinya tidak melupakan kanjeng Nabi dengan cara membasah kuyupi bibir dan hatinya dengan bersholawat. Dia tidak pernah ketemu Rasulullah SAW, tetapi ia temukan jejak jejak cintanya melalui ajaran ajaran yang ia terima dan ia setiai dengan cara merangkul sekuat kuatnya atas ajaran itu. Kanjeng Nabi adalah orang yang tak pernah membikin kecewa umatnya.
Pada saat beliau sakit menjelang wafatnya, beliau wasiat kepada menantunya Sayyidina Ali, bahwa setelah sepeninggal beliau jubahnya itu (Burdah) sampaikan kepada orang yang bernama Uwaisy Al Qorni, sebagai hadiah atas keintiman hati walau tidak pernah menemui beliau. Amanat ini di laksanakan menantunya sepeninggal beliau dengan mencari tempat yang pernah di tunjukkan Rasulullah SAW. Sampai di dusun yang di maksud Sayyidina Ali bertanya tanya ke setiap orang orang kampung, apakah ada orang yang namanya Uwaisy Al Qorny?. Semua orang menjawab tidak kenal, malah berbalik bertanya, ciri ciri dan karakter Uwaisy Al Qorny. Setelah panjang lebar di terangkan bahwa ciri cirinya, ia berpegang teguh pada ajaran ajaran Nabi SAW, bagai sepenuh cinta bayi menyusui puting susu ibunya dan ia selalu berdendang kerinduan dengan bersholawat atas Nabi SAW bagai seruling yang menjerit jerit dengan pilu dan menyayat hati, ingin bertemu. Setelah keterangan ini, orang orang kampung paham betul akan Uwaisy Al Qorny itu, ternyata di kampung itu ia bernama Plompong dan punya saudara satu yang bernama Plompang.
Segera Sayyidina Ali menuju rumahnya Plompong. Ternyata sebelum Sayyidina Ali masuk kerumahnya, Plompong itu keluar menyambut kedatangan Sayyidina Ali dan langsung, sebelum Sayyidina Ali menyerahkan burdah itu, Plompong meminta kepada Sayyidina Ali, mana jubahku... titipan kekasihku Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Kawan kawan, kita kita ini semua sama seperti Uwaisy Al Qorny, tak pernah ketemu beliau namun kita temukan jejak jejak cintanya yang bertaburan memenuhi semesta raya. Dan nama nama kita di kampung ini adalah Agung, Sarno, Sumini, Suminten, dan Sintenremen. Namun karena hatimu merindu sekelas Uwaisy Al Qorny maka aku membayangkan dalam pandangan yang indah, sebagai kesaksian, engkau semua di hadiahi Burdah oleh Rasulullah SAW melalui tangan-tangan pecinta dan perindu cinta....... Terimalah kawan ...........


catatan :  

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil
 meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2

  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.

Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan.


Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel