BOLA CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, lihatlah kepasrahan bola itu, lihatlah, ditendang lalu dikejar, ditendang lalu dikejar--begitu seterusnya--dimana-mana, kapan saja. Aku jadinya tertawa-tawa, lucu sekali kalau menyaksikan sepakbola. Aku saksikan pertunjukan antar suka dan duka, antara tawa dan tangis, antara rojak dan khouf (harapan dan kecemasan)--itulah permainan dunia, gumamku. Sebuah titik keberadaan di alam ini bagiku bagian dari tanjakan--yang simbolik--terhadap kerokhaniyahan, ke Dia itu. Apa pun.
Sebuah bola menghadiahi gemuruh kegembiraan penonton, baik yang langsung di lokasi atau penonton yang dibalik selubung kaca ini. Namun bagi yang kalah dengan mulut terkatup--namun meletup di hatinya--ternyata merasa bukan kami yang berkuasa, bukan. Bukankah dibalik kekalahan sudah menggiring mereka pada titik--Tuhan bermahkota?
Kepasrahan sebuah bola, adalah sebuah misteri cinta. Diriku mengandaikan sebuah bola itu. Ketika hambaNya butuh, aku dikejar, begitu acara usai aku ditendang pulang, menggelinding dalam sunyi. Lalu tertangkap lagi, aku kadang dipermainkan lewat kaki-kakiNya, terus ditendang lagi jauh melesat, dikejar jadi rayahan. Aku pasrah saja. Namun aku melihat kegembiraan pemain, penonton bertepuk tangan gempita seluruh pemirsa. Permainan begitu selesai, aku diletakkan dalam sudut sunyi, tempat aku membaringkan luka-luka. Aku rela setelah membekaskan di hati manusia antara harapan dan kecemasan itu. Andai aku kempes, ternyata mereka pompa lagi, sampai lukaku sempurna dan terus dibuang, aku rela.
Bagiku pembuangan itulah yang aku tunggu, karena belum tentu aku bisa menggelinding sendiri dalam kuburan sunyi itu. Sekiranya aku terbuang demi semua umat manusia, sehingga aku tidak usah menunggu panjangnya penantian kematian. Sekiranya saja aku dapat melimpahkan kepada hatiku semua derita duka yang membebani hati-hati seluruh manusia, agar mereka terlepas dari kesedihan. Sekiranya saja aku dapat membasuh semua dosa manusia, sehingga di hari perhitungan mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban. Sekiranya saja aku dapat menanggung penderitaan hidup semua manusia di akhirat nanti, sehingga mereka diselamatkan dari api neraka.
Aku cemburu kepada kepasrahan bola itu, atas kerelaan ditendang melulu, tidak ada kemungkinan yang lain. Ada seorang tamu, mengabarkan kepadaku atas penghinaan yang total kepadaku, dengan harapan aku marah dan membalasnya--ia bicara sambil menangis. Aku jawab dengan kelembutan tiada tara--kawanku, aku terimakasih tak terhingga atas kedatanganmu, atas kesehatanmu, teriring doa moga2 semuanya keluargamu sehat, rezekimu barokah, anak2mu shaleh sholekhah.
Terimakasih juga atas khabar darimu dari orang yang menghinaku, itu menurutku cinta dalam bentuk yang lain, kalau sampai tataran musuh, bukan kah musuh itu ada baiknya bagiku. Baik bagaimana--kawan itu meradang. Aku jawab--kalau kata-katanya benar, bukankah itu menjadi obat bagiku sehingga aku bisa memperbaiki citra hidupku, kalau kata-kata itu salah, biarlah kesalahan itu menjadi milik orang itu, aku tidak mau mengejarnya, aku merasa tidak mampu sekuasa dia. Dan alangkah bagusnya dia perhatian kepadaku, ditengah ia punya kesibukan yang banyak, masih sempat berfikir tentang diriku.
Pertama, sampaikan salam kepadanya, ke dua sampaikan ucapan terimakasihku kepadanya atas kado penghinaan ini, dan kapan-kapan aku berharap Tuhan mempertemukan orang--yang di mataku--baik hati itu....
Kawan-kawan, akulah bola itu, ayo tendanglah aku, asal kamu semua bahagia dan hilang kesedihanmu, walau sepakbola itu permainan, mainlah yang sunggu-sungguh, tendanganmu itulah puncak kebahagiaan atas kehadiranku....

catatan :  

    K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung
Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962
dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara.
Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan
Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga
yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian
dan perdagangan.

   Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah
ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang
tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap
menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang
tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik
bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari
prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara
kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil
meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar
sarjana.1
Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak
yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu
pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2

  Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang
dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari
mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug
pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono
melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980.
Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2
Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono
berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990.

Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.
Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan.


Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono
juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah
keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau
belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo.
Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono
mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya
sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa
(OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya
untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam
pelajaran sekolah.

Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar
di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam
pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga
organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat
Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga
sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi
masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan
Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang;
organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3
(tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah
satu Partai Islam.

Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi
Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan
aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah
menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan
meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan.
Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang
isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan)
putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui
lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel