BENIH CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, betapa soal kegigihan dalam melibatkan diri kepada pekerjaan itu amat penting--bisa di sebut kesetiaan. Dalam drama agung kehidupan, manusia paling banter bisa mengambil satu peranan dalam ladang akhirat ini, ya mengambil satu peranan.

Banyak para guru sufi memiliki pekerjaan sebagai penghidupan mereka: tukang sol sepatu, memintal kain, berdagang dan lain sebagainya. Kemandirian adalah kuncinya, mereka tidak bergantung kepada siapapun kecuali memethik dengan segar rizki dari Allah. Misalnya seorang mistikus Abu Huseyn Nuuri: Setiap pagi dia berangkat dari rumah menuju tokonya, dan membeli beberapa iris roti di tengah jalan, dia memberikan roti itu sebagai sedekah, kemudian pergi ke masjid tempat dia menunaikan shalat sampai tiba shalat dhuhur, dia akan pergi dan membuka tokonya sementara masih berpuasa, para saudagar lain menganggap bahwa dia telah makan di rumah, sementara orang rumah menganggap dia sudah makan di pasar, dia dua puluh tahun melakukan jalan [lelaku] ini, dan melakukan pekerjaan itu.

Kisah ini bisa menebar wangi dalam bentuk: keterlibatan dalam sebuah pekerjaan, menghindari kemalasan dan pengangguran. Disamping itu sikap ini juga membangkitkan sebuah sikap persahabatan yang saling menguntungkan dan pelayanan kepada sesama umat manusia serta untuk mendukung perkembangan kualitas-kualitas manusia di antara saudara mereka, mereka menjunjung tinggi cita-cita yang amat luhur ini--berbagi itu.

Misalnya ada kisah lagi: ada seorang Waliyullah Ma'ruf Al-Karkhi mengumpulkan buah kurma, pekerjaan ini dilakukan hanya karena beliau melihat seorang anak menangis [anak yatim-piyatu], padahal hari itu hari raya, dimana semua anak diberi baju baru, sementara dia tidak, anak-anak yang lain bisa main kelereng sementara dia tidak, lalu Kiai Ma'ruf itu mengumpulkan buah kurma itu untuk dijual, untuk membelikan kelereng agar anak yatim-piyatu itu dapat bermain, sehingga dia tidak menangis lagi.

Ada lagi, biasanya dilakukan oleh santri "ndalem" [santri yang ikut di rumah Kiai]: tadinya anak orang kaya, ilmu punya, praktek spiritual sudah, meditasi sudah namun dia butuh mengalami terlepas dari semua itu, maka salah satu "jalan" dia adalah melakukan pelayanan kepada Kiainya itu--mengabdi, mulailah dia melakukan tugas pribadinya untuk membersihkan kamar mandi, memasak, mencari kayu bakar, belanja, bertani dan sebagainya, dimana dia melakukan dengan gigih dan ikhlas, dia menjadi terbiasa melakukan itu semua dan menyadari keberartian ruhaniyahnya, bahkan untuk kebutuhan Kiainya dia jual serbannya, jual sepatu mahalnya, jual kain bordir jubahnya, ketika ayahnya melihat dia seperti itu bertanya: Nak, putraku apa maksudmu dengan semuanya ini? Anak itu menjawab: lihatlah aku Ayah, tetapi jangan tanyakan tentang semua ini!

Malam ini juga ada kisah menarik dan menakjubkan, seorang anak yang kemaren aku kirim sajak lewat Kang Budi Santoso saat dia berulang tahun, namanya Nurul binti Awi Tasripin, dia membahasakan cinta yang telah ditunaikan, telah dibayar, aku melihat gambar fotonya nampak sedemikian semeleh hatinya bagai sosok seorang ibu yang santun [lihatlah sendiri fotonya], aku membayangkan dia punya perkataan yang halus, sikap yang menyenangkan, air muka yang gembira, sifat derma, toleran, sikap memaafkan bahkan rela mengabaikan kebajikannya [ciri keikhlasan], bahkan aku yakin ia akan punya cinta yang universal, amin….

Kawan-kawan,bacalah goresan jiwanya dalam tulisan yang amat sangat indahnya ini:
Setiap hari jaga adikku Shofa
Dan membantu Ibuku jam 12.00
Aku pulang sekolah jaga adikku lagi
Pantang menyerah itulah hidupku sehari-hari
Nurul, 20/10/10

Karena dia masih kecil, maka aku sebut bibit, dan karena cinta yang telah ia tunaikan seindah itu maka aku sebut bibit Cinta, dimana setiap orang tua memiliki harapan dan cita seperti itu, cita-cita adalah bagai benih itu dalam tanah, tumbuhnya hanya menunggu seiring musim, maka ia akan menjelma Cinta, berbahagialah Kang Awi, berbahagialah Kang Awi, berbahagialah….


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel