BANGKRUT CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, kesalehan individual ternyata sagat-sangat menghawatirkan sebelum teruji dalam kesalehan sosial. Kanjeng Nabi saw sendiri memakai parameter yang tidak kepalang tanggung: sebaik-baik manusia itu yang lebih bermanfaat bagi sesama manusia. Lagi--dari beliau: Orang yang paling dicintai oleh Allah adalah orang yang lebih bermanfaat bagi manusia, dan amalan yang lain dicintai oleh Allah adalah orang yang bisa bikin seneng saudaranya.

Pada ujungnya agama diturunkan--lewat para kekasihNya--supaya memandu manusia dan membahagiakan manusia. Termasuk Qur'an sendiri diturunkan sebagai petunjuk buat manusia--hudan linnaas. Alam dicipta, ternyata dipersembahkan untuk memberi kenikmatan kepada manusia. Manusia disamping dicipta sebaik kejadian, dia mendapatkan tugas kekhalifahan di bumi ini, wakil Tuhan di bumi untuk memayu hayuning jagat (merawat alam).

Dalam reposisi ini manusia harus menyerap ajaran-ajaran agama dalam kerangka memegahkan jiwanya, agar sedemikian telaten menghadapi tantangan-tantangan sejarah dunia. Apa yang terjadi? Dalam banyak kasus justru agama dijadikan sarana untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya secara pribadi dan kelompoknya. Keadaan ini sudah disinyalir Kanjeng Nabi: Tahukah kamu orang yang bangkrut itu ? Ada sahabat yang menjawab kala itu: orang yang berdagang tidak menghasilkan duit (dirham). Bukan--sahut Kanjeng Nabi--orang yang bangkrut adalah orang mati membawa pahala shalat, membawa pahala zakat dan membawa pahala puasa tetapi besok pada hari kiamat, pahala-pahala itu akan terkikis oleh dosa-dosa sosialnya.

Orang mengira pahala-pahala ritual ini akan mengantarkan mereka ke sorga, namun kenyataan dalam timbangan nanti mereka pada ujungnya akan dilemparkan ke neraka. Antrean sedemikian panjang minta pengadilan di sisiNya: Ya Allah, orang ini pernah mengalirkan darahku, orang ini pernah menfitnahku, orang ini pernah mengkhianatku, orang ini pernah mengingkari janji kepadaku, orang ini pernah menipuku, orang ini pernah menuduhku, orang ini pernah mengambil hak-hakku, orang ini pernah, pernah, pernah, pernah.

Setelah pahala ritual dihabiskan untuk menebus dosa sosial, sementara masih banyak antrean panjang pengaduan atas kedhaliman yang pernah dilakukan sepanjang hidupnya. Lihatlah kisah penjual cendol di pematang sawah, tepatnya di bawah pohon randu, ibadahnya biasa-biasa saja, kehidupan rumah tangganya sangat-sangat sederhana. Pagi-pagi ketika sedang memulai jualan, datanglah Kiai kampungnya ingin membeli dengan cara memborong cendol pagi itu dengan alasan ada tamu rombongan dari kota, kalau mau dikasih teh botol sudah kebiasaan kota, maka spesial akan disuguhi cendol itu.

Kiai ini kaget ketika ditolak kalau membeli seluruhnya, kalau sedikit boleh--diborong jangan. Kiai ini--dengan seluruh keilmuannya dan ibadahnya--tidak habis mengerti kepada penjual cendol itu, mustinya kalau beliau borong penjual cendol ini tidak usah seharian seperti biasanya. Ternyata alasan ketidakbolehan itu sangat menakjubkan di hati Kiai: Punten Kiai, bukannya aku tidak taat kepada panjenengan (anda), sekali lagi maafkanlah aku, kalau cendol ini Pak Kiai borong maka aku akan membikin banyak orang kecewa karena cendolku ini konsumsi bagi mereka para pekerja di sawah itu….

Kawan-kawan, Kiai kampung itu membeli sedikit terus ngeloyor pulang, beliau tidak menemui tamu dulu, namun langsung masuk kamar menyungkurkan kepalanya ke sajadah untuk sujud syukur dengan derai airmata: Ya Allah, pagi ini Engkau tunjukkan orang kecil yang berjiwa besar, dia tak silau rejeki nomplok dariku, namun kemesraan hidup itu yang disetiai, sementara keilmuan dan ibadahku belum memercik kesadaran sampai kesana, ampuni aku, kalau Engkau tidak mengampuni aku, sungguh aku akan menjadi orang yang bangkrut itu….


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel