ARANG CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, dalam pengembaraan Rendra di hutan rimba, dia menemukan sorang yang sangat sederhana penampilannya, jauh dari media masa, jauh dari seremonial agama, jauh dari kekuasaan negara--cedak watu adoh ratu--tetapi memiliki kesadaran penggapaian langit yang tak bertepi.

Seseorang itu jauh dari supremasi apa saja, yang di kota--konon--tempat orang-orang pintar bermukim, menjadikan kepintarannya, merupakan kebodohannya yang nampak. Hal ini terbukti dari hutan dan dusun orang setor kepada kota untuk segala kerakusannya, dari kota setor kebijakan yang bikin orang desa--termasuk hutan itu--terkoyak ketenangannya.

Semuanya ini tentu diketahui oleh seorang Begawan sastra sekelas Rendra itu. Rendra mengamati sepenuh hati kegiatannya ini, ya kegiatan orang kecil tapi berjiwa besar. Kebesarannya bukan karena seorang bintang, bukan karena seorang pejabat, bukan seorang rohaniawan, tetapi orang ini seorang pekerja, pelaku sejarah--bukan pencerita. Yang berkata bagi orang ini adalah perbuatannya, bukan perbuatannya yang berkata-kata.

Kegigihan semacam ini--di mata Rendra--merupakan percontohan bahwa betapa penting orang itu memiliki sebuah pekerjaan, orang itu melibatkan diri dalam persembahan gerak sejarah--jadi orang bermartabat. Selepas subuh, dia berangkat ke hutan membawa pikulan yang digantungi dua keranjang, umurnya sudah 70 tahun, sesampai di hutan dia menghadapi gundukan tanah yang di sela-sela tanah itu menyembul asap, orang itu terlihat gesit dan lincah. Dibalik gundukan yang berasap, ada sepikul arang yang malam nanti akan ia bawa ke kota, setor kepada pelanggannya.

Di sela-sela seharian mengorek sepikul arang itu--dilihat Rendra--ia melakukan sembahyang tanpa melihat jam, hanya isyarat alam dan bersajadahkan lembara daun pisang--di atas rumput. Dalam pandangan Rendra, ternyata lengkung langit itu bagai kubah masjid yang amat besar, dan kala bersujud di atas selembar pisang, orang itu menjadi hilang dalam arti tidak sebanding dengan besarnya lengkung langit itu, ia dipandang fana.

Pada senja sebelum pulang terjadilah dialog antar Rendra dengan penjual arang yang sudah sepuh itu. Apa cita-cita mBah sesepuh ini dalam hidup--tanya Renda. Maka dijawab dengan polos oleh penjual arang yang sudah 45 tahun menggeluti bikin dan menjual arang itu: saya masih selalu berusaha sekuat hati dan tenaga membuat arang yang semakin bagus dari hari-hari kemaren--katanya. Jawaban sederhana dan spontan inilah yang menjadikan Rendra ambruk hatinya, sehingga ia mengakui ada berubahan semakin maju keberagamaannya setelah memperoleh jawaban dalam pengembaraannya di hutan itu.

Kisah yang diceritakan Rendra ini bila dikaitkan dengan kerangka tekstual sangat-sangat indah, karena yang mau ditembak oleh penjuan arang ini pada dasarnya adalah dia tidak ingin membikin kecewa orang, malah supaya pelanggannya tambah gembira lagi dengan produknya yang semakin berkualias tak terbatas penggapaiannya itu. Bila dilacak lebih mendalam lagi bahwa penjual arang itu memiliki keikhlasan dalam bekerja, dan itu pengaruhnya terhadap hati konsumen amat memberkahi.

Hal-hal kecil bisa dilatih, ketika memasak Ibu-ibu itu tidak sekedar mengandalkan mahal bumbunya, tetapi bumbu itu harus bersumber pada racian cinta yang berasal dari hati itu, dengan mengandaikan setelah masakannya matang yang akan mencicipi adalah kekasihnya. Senada dengan Rumi, yang menerangkan pekerja pemintal kain tidak sekedar benang kapas itu, melainkan ulurlah benang itu dari hati, dengan mengandaikan selembar kain itu kalau jadi busana yang akan memakai adalah kekasihnya. Setiap orang manakala bekerja dengan cara seperti ini, maka ia akan memliki percikan cahaya--seperti tukang arang itu--hingga menjadikan orang sekelas Rendra menjadi luruh hatinya, dan menjadi titik perubahan yang semakin dekat dengan Tuhan.

Berkaca terhadap kisah Rendra ini, aku mengetik kata-kata pun mengandaikan, yang akan membaca adalah kekasihku, ya anda itu….


catatan :

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel