AMBILLAH CINTA - karya K.H. Amin Budi Harjono


Sedulurku tercinta, dalam hidup aku punya sesanti [filosofi Jawa]: ojo rumongso biso nanging bisoho rumongso [jangan merasa sok. tetapi merasalah untuk tahu diri]. Kesadaran ini mudah bagiku karena hidup ini tadinya tidak ada, sekarang merasa ada dan kapan-kapan kembali ke tiada, hidup ini dari mana sekarang dimana dan setelah mati mau kemana. Inilah Jalan Misteri bagiku tetapi Nyata, nyata yang harus aku lalui, nyata yang harus aku nikmati, nyata yang harus aku sabari semua goresan hidup ini.


Bahkan ajaran yang aku sesap dari para "salafushsholeh" yang mengajarkan tentang "tahu diri" itu adalah: merasa hina, merasa bodoh, merasa lemah, dan merasa rendah itu. Dengan ini sudah selayaknya kalau ada yang menghina-hina diriku, membodoh-bodohkan diriku, melemah-lemahkan diriku, dan meremeh-remehkan diriku, yaya sudah selayaknya. Dalam keyatimanku sejak kecil, sudah mengajarkan bahwa tidak ada sandaran ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang, dan hanya ada dua kemungkinan: ke bawah [alias mati] lalu ke atas [hanya Dia yang menjadikan aku tidak sendiri, ya ada Dia].


Reposisi ini menjadikanku hidup merasa ringan walau pas-pasan, menjadikanku selalu bergembira [bersyukur], aku merasa selalu ada cahaya dan selalu ada harapan--siang dan malam, dan merasa kenikmatan ini tiada bertepi, tiada tara--dari Dia. Aneh, pengusiran dunia dengan berbagai bentuknya ini, menggiring lagi pada posisi "keyatiman" itu, sehingga aku tidak berani melawan siapa pun, karena hal ini aku pandang "peranan" mereka menempatkanku pada posisi Dia bermahkota di hati ini. Kalau ada yang mengambil sesuatu dariku, aku tidak merasa kehilangan karena memang aku tidak berhak merasa punya apa-apa, kalau ada yang mengores hidupku dengan berbagai peristiwa, aku song-song dengan segenap hasrat yang menyala karena goresan apa pun hidup ini aku sadari "kado" terindah dari Dia.


Dalam prinsip ketauhidanku, Dia menyatakan: semua makhluk adalah keluargaKu, suara ini membawa diriku memandang bahwa semua adalah saudaraku, kalau orang tua adalah orang tuaku, kalau lebih tua adalah kakakku, kalau lebih muda adalah adikku, kalau anak-anak adalah anak-anakku juga. Inilah wilayah cintaku, karena itu aku tidak berani kepada mereka semua untuk menyakiti, sebab kalau aku menyakiti mereka maka jelas-jelas secara tauhid ini aku menyakiti Dia, mana aku berani, mana aku berani, mana aku berani.


Aku memilih disakiti, dihina, diremehkan, diolok-olok, diintimidasi, dibodoh-bodohkan, diusir, asal mereka bisa tersenyum. Senyum bagiku tidak sesederhana hanya sesungging itu, tetapi aku lihat Dia di dada mereka tersenyum, aku tidak sekedar menemukan Dia dalam tempat-tempat ibadah tetapi aku lebih intim menemukan Dia pada hati-hati milikNya itu, di jalan-jalan kehidupan ini--yang semuanya indah. Aku tidak sekedar melumat bibirku untuk membaca kalam-kalam suci tertulisnya yang pernah juga diucapkan oleh lidah suci Kanjeng Nabi saw itu, tetapi aku merasa kuyup oleh kalam-kalam Dia yang tidak tertulis ini namun bisa aku baca dan aku tancapkan di dadaku ini, sebagai manifestasi imanku.


Aku rangkul cahaya ini --siang dan malam, aku bayar dengan segenap derita dan kesusahan dan aku tidak minta tebusan karena ranah cinta tidak ada unsur transaksi. Dengan ini aku merasa hidupku ayem trentem bukan karena tanpa masalah, tetapi aku songsong segenap masalah sebagai pemanis iman ini bagai racun aku ubah menjadi madu. Dalam citra lahiriyah, aku relakan keremehan, dalam mata batinku apa yang disebut keremehan itu adalah mutiara yang berkilau sebenarnya. Dalam berbagai bentuk kehilangan dalam hidupku, ini bukan kehilangan karena apa yang disebut hilang pasti akan jatuh kepada "saudara-saudaraku" itu, tidak yang lain.


Siapa selain diriku itu kalau bukan milikNya? Aku memang tidak punya atribut apa-apa, jabatan apa-apa, tetapi aku merasa menjadi "raja" bagi diriku, sementara seluruh instrumen tubuhku adalah rakyatnya, aku hadapi diriku dan akan aku semakin sempurnakan instrumen diriku, bagai membikin senyum rakyat bagi pemimpin itu. Aku merasa bahwa ini dulu yang musti digarap, sebagaimana pesan Nabi: mulailah dari dirimu sendiri itu. Aku berfikir, kalau diri ini disharmoni mana mungkin bisa menebar cinta dan cahaya, aku tidak menunggu saudaraku mengambil apa-apa dari diriku tetapi aku datang dan menyerahkan apa-apa yang akan membikin senyumnya itu: ambillah, ambillah, ambillah....


Kawan-kawan, aku melihat kepasrahan semesta untuk manusia: ayam dipotong untuk kelaparan manusia, bayam dipangkas untuk kenyang manusia, pohon-pohon bagai nampak punya ribuan tangan yang menyodorkan buah-buahan kepada manusia, hewan-hewan disembelih untuk kepuasan manusia, padi ditumbuk, gandum dilumatkan dan seterusnya, semua ternyata untuk jamuan pesta para kekasih-kekasihNya, seburuk apapun mereka aku melihat bukan keburukannya tetapi semua ini aku pandang sentuhan lembut tanganNya itu, aku tahu Dia lebih tahu daripada tahuku....



catatan : 

     K.H. Amin Budi Harjono dilahirkan di Desa Baturagung Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan pada tanggal 17 Mei 1962 dengan nama Budi Harjono sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Kedua orangtuanya – Bapak Sutikno dan Ibu Hj. Rukanah – hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah di desanya. Keluarga beliau merupakan keluarga yang sederhana yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil pertanian dan perdagangan.    Meskipun kedua orangtua Budi Harjono hanya lulusan madrasah ibtidaiyah dengan jumlah anak yang lumayan banyak serta ekonomi yang tergolong menengah ke bawah, masalah pendidikan anak-anak tetap menjadi prioritas utama di lingkungan keluarga. Bagi mereka (kedua orang tua Budi Harjono) tidak ada alasan untuk tidak memberikan yang terbaik bagi wawasan keilmuan anak-anak mereka. Hal itu dapat terlihat dari prestasi pendidikan yang diraih Budi Harjono dan saudara-saudara kandungnya. Dari keenam anak mereka, empat diantaranya berhasil meraih gelar sarjana dan hanya dua orang yang tidak mendapat gelar sarjana.1 Sejak kelas 2 Sekolah Dasar, Budi Harjono telah menjadi anak yatim karena ayahnya tercinta berpulang ke Rahmatullah. Semenjak itu pula Budi Harjono diasuh oleh kakeknya yang bernama Amin Dimyati2   Proses pendidikan Budi Harjono tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh anak-anak Indonesia pada umumnya. Diawali dari mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Baturagung Gubug pada tahun 1970 dan lulus tahun 1976 kemudian Budi Harjono melanjutkan pendidikannya pada tahun itu juga di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah Gubug dan lulus pada tahun 1980. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah, Budi Harjono melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Semarang dan lulus tahun 1983. Perjalanan pendidikan Budi Harjono berikutnya adalah di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo yang dijalaninya sejak tahun 1983 hingga 1990. Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan. Selain menimba ilmu di sekolah-sekolah formal, Budi Harjono juga memperdalam pengetahuannya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Pendidikan berbasic agama tersebut diterimanya saat beliau belajar di Madrasah Diniyah (MD) dan Pondok Pesantren Sendangguwo. Menginjak remaja, ketika duduk di jenjang SMA, Budi Harjono mulai aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian. Dipercaya sebagai seksi bidang rohani Islam di lingkungan Organisasi Intra Siswa (OSIS) SMAN 2 Semarang, Budi Harjono memulai kreatifitas berfikirnya untuk kemajuan organisasi di samping tetap berkonsentrasi dalam pelajaran sekolah. Aktifitas keorganisasian tersebut berlanjut manakala beliau belajar di IAIN Walisongo-Semarang. Selama hampir 7 (tujuh) tahun mengenyam pendidikan tingkat tinggi, Budi Harjono tercatat aktif di lembaga-lembaga organisasi mahasiswa yang antara lain di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Teater Wadas, dan bahkan beliau juga sempat menjabat Sekretaris Senat pada masa kepemimpinan Athoillah Muslim. Hingga sekarang-pun Budi Harjono masih aktif berorganisasi, baik organisasi masyarakat – seperti aktif sebagai salah satu Ketua RW di lingkungan Meteseh, Tembalang, Semarang, Dewan Syuriah NU Kodia Semarang; organisasi sosial-pendidikan – beliau menjadi pendiri dan penasehat di 3 (tiga yayasan sosial-pendidikan); maupun organisasi politik – aktif di salah satu Partai Islam. Di samping memiliki segudang pengalaman organisasi, Budi Harjono juga memiliki prestasi yang tidak kalah banyaknya dengan aktifitas organisasinya. Sejak duduk di sekolah dasar Budi Harjono sudah menunjukkan bakatnya di bidang kesenian. Hal itu dibuktikan dengan meraih juara I (satu) lomba menyanyi tingkat sekolah dasar se-Kecamatan. Di tingkat SMA, beliau berhasil meraih juara I Pidato tingkat SMA  Beliau hidup bersama seorang isteri yang dinikahinya pada tahun 1989 dan telah dikaruniai 9 (sembilan) putra. Kesehariannya disibukkan dengan pengembangan dakwah melalui lembaga pendidikan, pengajian, serta kesenian. 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel